Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Skema Multitarif, Pemerintah Hanya Akan Pajaki Sekolah Orang Kaya

Kompas.com - 14/06/2021, 12:54 WIB
Fika Nurul Ulya,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang/jasa termasuk jasa pendidikan alias sekolah.

Rencana ini tertuang dalam Revisi UU Kelima Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan, Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Neilmaldrin Noor mengatakan, pengenaan PPN hanya ditujukan untuk sekolah-sekolah tertentu alias sekolah premium orang-orang kaya.

Baca juga: Jelaskan Pertimbangan PPN Sembako dkk, Kemenkeu Sebut The Death of The Income Tax

Neil menuturkan, pengenaan PPN pada setiap barang/jasa akan berbeda tergantung dari kemampuan membayar seseorang.

Dengan kata lain, hanya barang/jasa yang dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas yang akan dikenakan PPN lebih tinggi.

"Soal pendidikan, bukan pendidikan yang selama ini disampaikan. Tentunya pendidikan (yang dikenakan PPN lebih tinggi adalah) yang dirasakan memang dikonsumsi atau dimiliki oleh masyarakat yang memiliki daya beli jauh berbeda," kata Neilmaldrin dalam konferensi pers Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu secara virtual, Senin (14/6/2021).

Neil menuturkan, skema yang diterapkan adalah skema multitarif, yakni pengenaan tarif lebih tinggi untuk barang/jasa yang dikonsumsi orang kaya, dan pengenaan pajak yg lebih rendah untuk masyarakat menengah ke bawah.

Baca juga: [POPULER MONEY] Soal PPN Sembako, Pemeritah Kirim Email ke 13 Juta Wajib Pajak| Penyebab Harga Sepeda Anjlok

Prinsip pengenaan PPN

Pengenaan pajak untuk segmen tertentu itu dilakukan agar menciptakan asas keadilan, sebab insentif bebas PPN yang berlaku saat ini berlaku untuk semua orang, baik orang kaya maupun orang miskin.

"Hal ini menandakan fasilitas selama ini kurang tepat sasaran, oleh karena itu kita lakukan perbaikan," papar dia.

Neil menyatakan, peninjauan ulang tarif PPN ini dilakukan untuk menjaga prinsip netralitas. Apalagi saat melihat tren global, PPN di 127 negara sudah bertarif sebesar 15,4 persen.

Selain itu, Neil mengakui, kenaikan PPN dapat mengoptimalkan penerimaan negara akibat pandemi Covid-19.

Baca juga: Wacana PPN Sembako Bikin Harga Pangan Naik?

Dalam struktur perpajakan terkini, PPN merupakan salah satu instrumen yang cukup dominan menyumbang penerimaan negara dengan angka mencapai 42 persen dari total penerimaan.

"Kami akan melihat ability to pay (kemampuan membayar) dari yang mengonsumsi barang tersebut sehingga ketika terjadi pengecualian ataupun fasilitas, tak semua dikenai PPN. Saat ini kita lihat yang mampu, tidak membayar PPN karena mengonsumsi barang/jasa yang dikecualikan tarif PPN-nya. Padahal harusnya (pengecualian tarif) diberikan kepada masyarakat kecil," pungkas Neil.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyatakan hal serupa.

Pengenaan tarif PPN akan dilihat dari jenis barang/jasa yang dikonsumsi masing-masing masyarakat.

Menurutnya, pengenaan tarif PPN tidak bisa disamakan untuk barang-barang tertentu seperti daging wagyu dengan daging sapi biasa yang dijual di pasaran.

Baca juga: Jokowi Perpanjang Gratis PPnBM Mobil di Tengah Polemik PPN Sembako

Begitu juga untuk beras premium dengan beras Bulog.

"Orang yang belajar di sekolah-sekolah nirlaba/subsidi, tidak kena PPN. Tapi yang belajar privat dan bersekolah di sekolah mahal, juga tidak kena PPN. Menurut hemat kami ini menjadi tidak adil, tidak fair, sehingga kita kekurangan kesempatan untuk memungut pajak kelompok kaya untuk didistribusi kepada orang miskin," pungkas Yustinus minggu lalu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com