Tantangan yang lebih hebat datang ketika bank sentral negara Asia harus menjaga kredibilitas dalam menghadapi kekhawatiran lonjakan inflasi. Di sisi lain tidak tertinggal dari negara maju namun tidak pula terkejut dengan fenomena taper tantrum.
Pada bulan lalu, Direktur Pelaksana Otoritas Moneter Singapura, Ravi Menon sempat mengingatkan, bank sentral perlu secara khusus mengawasi pasar negara berkembang dari dampak dolar yang kuat.
"Sebuah studi MAS baru-baru ini menemukan bahwa apresiasi 1 persen dolar AS berdampak dengan arus keluar modal bersih sebesar 0,3 persen dari PDB pasar berkembang pada kuartal berikutnya," kata Menon.
Baca juga: Kemenangan Biden Diproyeksi Deraskan Aliran Modal Asing ke RI
Akibatnya mata uang negara berkembang utama Asia dapat melemah. Saat ini saja, rupiah Indonesia dan baht Thailand, telah melemah terhadap dolar dibandingkan level pada akhir tahun 2020.
Depresiasi ini sangat mencolok lantaran arus modal terus mengalir ke pasar negara berkembang di luar Asia.
Analis pasar global senior di Mitsubishi UFJ Financial Group, Teppei Ino mencatat, Indonesia mengalami depresiasi rupiah setelah memangkas suku bunga acuan pada Februari.
"Bank sentral Asia kesulitan untuk menarik pemicu penurunan suku bunga tambahan," beber Ino.
Naiknya harga konsumen menjadi penyebab lain yang perlu dikhawatirkan. Di Filipina, tingkat inflasi tahun ini telah melampaui 4 persen, melampaui target pemerintah.
Untuk Malaysia, inflasi mencapai 4,7 persen di bulan April karena lonjakan harga bahan bakar. Inflasi kemungkinan berlanjut naik pada bulan Mei.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.