Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dradjad H Wibowo
Ekonom

Ekonom, Lektor Kepala Perbanas Institute, Ketua Pembina Sustainable Development Indonesia (SDI), Ketua Pendiri IFCC, dan Ketua Dewan Pakar PAN.

Sangat Mendesak: Ketegasan Kesehatan dan Terobosan Fiskal

Kompas.com - 19/06/2021, 10:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI ANTARA berbagai masalah penting yang muncul belakangan ini, ada dua yang sangat mendesak urgensinya.

Pertama, lonjakan kasus COVID-19 di beberapa kota yang membuat sebagian rumah sakit kewalahan. Kedua, wacana pajak pertambahan nilai (PPN) bagi barang kebutuhan pokok dan jasa pendidikan.

Kenapa sangat mendesak?

Alasannya, masalah yang pertama merupakan ancaman terhadap keselamatan rakyat dan sekaligus merusak pemulihan ekonomi.

Adapun masalah yang kedua, dia bisa menjadi gangguan terhadap pertumbuhan ekonomi dan sekaligus mencerminkan kurang kokohnya stabilitas fiskal.

Baca juga: Pemulihan Ekonomi di Tengah Pandemi dan Krisis Iklim

Untuk mengatasinya, hemat saya pemerintah perlu lebih tegas di bidang kesehatan dan berusaha lebih keras lagi mencari terobosan fiskal. Mari kita bahas keduanya.

Lonjakan kasus

Menjawab rekan jurnalis pada awal Juni 2021, saya sampaikan bahwa dilihat dari kondisi penularan Covid-19 (the state of COVID-19 transmission) per 5 Juni 2021, Indonesia berada pada zona kuning pandemi dengan risiko memburuk ke zona merah.

Penilaian ini saya buat berdasarkan fungsi produksi kesehatan yang saya tulis dalam artikel When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for Covid-19 control policy, yang terbit di BMC Public Health 21.

Dalam artikel tersebut, kondisi penularan di satu negara atau wilayah saya bagi ke dalam tiga zona, yaitu merah, kuning, dan hijau.

Di zona merah, jumlah kasus harian Covid-19 meningkat dengan elastisitas produksi kesehatan E di atas 1. Berbagai Tindakan Kesehatan Publik (TKP) seperti penutupan perbatasan, lockdown, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus dilakukan untuk menekan penularan.

Di zona kuning, jumlah kasus harian menurun tetapi E masih di atas 1, sehingga pelonggaran TKP tidak direkomendasikan.

Di zona hijau, jumlah kasus harian menurun dengan E antara 0 dan 1. Pelonggaran TKP dapat dipertimbangkan, tetapi perlu menghitung risiko re-eskalasi kasus berdasarkan probabilitas Bayesian.

Saya memakai E karena negara sedang berkembang umumnya tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi R dengan akurat.

Baca juga: Apa Itu R0 dan Rt yang Jadi Pertimbangan dalam Keputusan soal PSBB?

Keterbatasan anggaran, kelemahan sistem data kesehatan, serta rendahnya tingkat tes dan penelusuran kasus membuat banyak negara tidak mampu mengestimasi bilangan reproduksi dasar R0 pada awal pandemi.

Tanpa R0 yang akurat, R yang dihasilkan juga tidak akurat. Padahal, R adalah indikator kunci dalam menilai kondisi penularan.

Saya membangun “jembatan sederhana” antara model matematis epidemiologi dengan ekonomi produksi agar elastisitas bisa dipakai ketika R yang akurat tidak tersedia.

Hasilnya, metode di atas mampu memperkirakan re-eskalasi kasus di Perancis, Jerman, Italia, dan Inggris pada Semester 2/2020. Angka E yang meningkat terbukti menjadi peringatan dini terhadap eskalasi jumlah kasus.

Untuk Indonesia, hingga 5 Juni 2021 elastisitasnya masih 1,45. Selama periode 1 Juli 2020 hingga awal Juni 2021, E mencapai puncak sebesar 4,56 pada 17 Januari 2021. Setelah itu tren-nya menurun.

Saat liburan Idul Fitri, angkanya sempat di bawah 1. Namun, angka tersebut merupakan anomali akibat anjloknya tes. Terbukti setelah liburan, E kembali ke kisaran 1,5 sehingga Indonesia masih di zona kuning.

Karena E dalam tren menaik, risiko masuk ke zona merah pun tidak bisa diabaikan, dan ini benar-benar terjadi sejak pekan ke-2 Juni 2021. Implikasinya, pada bulan Juni 2021, Indonesia seharusnya memperketat TKP.

Baca juga: Setahun Pandemi, Epidemiolog Sebut Kasus Covid-19 Masih Terus Bertambah karena Longgarnya Aturan

Ketegasan kesehatan

Harus diakui terdapat banyak hambatan untuk memperketat TKP. Beberapa di antaranya adalah, pertama, Indonesia memiliki banyak sekali pekerja yang tergantung pada penghasilan harian.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari 128,45 juta orang yang bekerja pada Agustus 2020, sekitar 77,67 juta orang atau 60.47 persen adalah pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap.

Baca juga: Satu Tahun Pandemi: Jumlah Pengangguran Nyaris 10 Juta, Angka Kemiskinan Tembus 10 Persen

Sebagian besar dari 17.48 juta orang yang bekerja di industri manufaktur adalah pekerja dengan upah harian. Jika dilakukan TKP total seperti Australia dan Selandia Baru, siapa yang menafkahi mereka dan keluarganya?

Kedua, jika TKP diterapkan terlalu ketat, konsumsi rumah tangga akan semakin terkontraksi. Padahal, konsumsi rumah tangga adalah penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi, yaitu 57,66 persen pada 2020.

Dengan TKP yang praktis “tidak berjalan” saja, konsumsi masih terkontraksi -3,61 persen (kuartal 4/2020) dan -2,23 persen (kuartal 1/2021). Konsumsi makanan dan minuman selain restoran bahkan anjlok, dari kontraksi -1,39 persen (kuartal 4/2020) menjadi -2,31 persen (kuartal 1/2021).

Konsumsi restoran dan hotel masih terkontraksi -4,16 persen (kuartal 1/2021), meski membaik dari -7,28 persen (kuartal 4/2020). Konsumsi kesehatan dan pendidikan malah turun dari 0,64 persen (kuartal 4/2020) menjadi 0,31 persen (kuartal 1/2021).

Masih banyak hambatan lain, mulai dari kelelahan psikologis masyarakat, rendahnya disiplin, hingga maraknya disinformasi dan mispersepsi tentang Covid-19. Jadi, memang tidak mudah menerapkan TKP ketat.

Namun, dengan memburuknya penularan Covid-19, pemerintah harus tegas melakukan pengetatan TKP.

Angka E Indonesia sudah terlalu tinggi, sebagian rumah sakit kewalahan, sementara tenaga kerja kesehatan kelelahan dan banyak yang menjadi korban. Jangan sampai sistem pelayanan kesehatan kita kolaps karena ledakan kasus.

Pertimbangan lain, program vaksinasi kita masih jauh dari level herd immunity. Riset vaksin Merah Putih masih jauh dari uji klinis fase 3, sementara riset obat Covid-19 tersendat.

Jangan lupa juga, seperti sering saya tulis sebelumnya, negara yang disiplin dengan TKP cenderung lebih cepat pulih ekonomi dan kehidupan sehari-harinya.

Riset vaksin dan obat

Langkah lain yang sangat mendesak adalah percepatan vaksinasi serta menjadikan riset vaksin dan obat Covid-19 sebagai prioritas pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas).

Alasannya, pandemi ini akan berjangka multi-tahun sehingga kita memerlukan beberapa kali vaksinasi. Sangatlah rawan bagi hankamnas jika Indonesia tidak mempunyai vaksin sendiri. Karena itu, riset vaksin Merah Putih harus digenjot dan dipercepat.

Riset obat juga sangat krusial. Dunia perlu menurunkan lamanya waktu perawatan, tingkat kesakitan, dan kematian karena Covid-19.

Karena itu, saya sangat menyayangkan kontroversi terkait riset obat dari Universitas Airlangga, TNI AD, dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Baca juga: Soal Klaim Obat Covid-19 Unair, Berikut Dampaknya Menurut Epidemiolog

Kita jangan berpandangan sempit. Dimensi pandemi itu bukan hanya kesehatan dan ekonomi, tapi juga hankamnas. Jadi, institusi hankamnas memang wajib mendukung riset vaksin dan obat, tentu dengan tetap memenuhi etika, prosedur dan persyaratan ilmiah di bidang medis.

Terobosan fiskal

Peningkatan konsumsi rumah tangga selama Ramadhan dan Idul Fitri sebenarnya membuat perekonomian berpeluang tumbuh positif di kuartal 2/2021. Namun, ledakan kasus pada Juni 2021 bisa merusak peluang tersebut.

Ini menambah berat perekonomian Indonesia. Terlebih lagi, resesi sudah berjalan satu tahun, dunia usaha kesulitan, penerimaan pajak seret, dan utang melonjak dengan beban pembayaran yang membesar.

Karenanya, bisa dimaklumi jika pemerintah menggagas berbagai wacana ekonomi dan fiskal. Namun, saran saya, wacana kontraproduktif seperti pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) barang kebutuhan pokok dan jasa pendidikan sebaiknya dihindari.

Baca juga: Naskah Lengkap RUU KUP yang Mau Pajaki Sembako

Memang, narasi publiknya dibuat cantik, yaitu hanya sembako premium dan jasa pendidikan komersial yang dikenai PPN. Sembako biasa dan jasa pendidikan bermisi sosial kemanusiaan tidak kena PPN.

Namun, narasi seperti itu tetap tidak bisa memoles konten yang memang kontraproduktif. Karena, pertama, studi terbaru menunjukkan PPN meningkatkan ketimpangan berbasis pendapatan.

Ini adalah hasil analisis terhadap semua negara yang menerapkan PPN, kecuali negara bekas Uni Soviet, dalam artikel Kaisa Alavuotunki, Mika Haapanen, dan Juka Pirttilä berjudul The Effects of the Value-Added Tax on Revenue and Inequality, di The Journal of Development Studies volume 55.

Pengenaan PPN terhadap sembako dan pendidikan yang tadinya bebas PPN akan memperburuk ketimpangan yang sudah memburuk karena pandemi.

Kedua, katakanlah sembako yang kena PPN hanya beras premium. Karena permintaan beras premium cenderung elastis, satu persen kenaikan harga akibat PPN akan diikuti oleh penurunan jumlah permintaan dalam prosentase yang lebih besar.

Dampaknya, harga di tingkat petani penghasil beras premium akan turun dan ujungnya adalah produksi bisa turun. Di sisi lain, harga beras non-premium di tingkat konsumen bisa naik, dengan potensi dampak inflasi, pertumbuhan, dan ketimpangan.

Saya tidak akan mengklaim pengaruhnya dengan rinci karena perlu riset yang lebih teknis. Tapi, satu-satunya sektor yang konsisten tumbuh positif selama pandemi adalah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.

Dia tumbuh di atas 2 persen, terakhir 2,95 persen pada kuartal 1/2021. Subsektor tanaman pangan di mana beras bergabung malah tumbuh 10,32 persen (kuartal 1/2021).

Pada saat pertumbuhan masih labil, logiskah mengganggu sektor ini?

Ketiga, dari data Kementerian Keuangan sendiri, nilai PPN yang tidak dikenakan terhadap jasa pendidikan selama 2016-2019 itu hanya Rp 8,0-10,5 triliun. Setelah dikurangi “jasa pendidikan bermisi sosial kemanusiaan”, nilainya tentu lebih rendah.

Jika PPN dikenakan, jelas biaya pendidikan semakin mahal, meski dinarasikan “jasa pendidikan komersial”. Pantaskah negara mengejar penerimaan sekecil itu, sementara prioritas periode kedua Presiden Jokowi adalah sumber daya manusia?

Baca juga: Naskah Lengkap Pidato Presiden Joko Widodo dalam Pelantikan Periode 2019-2024

Saya pernah bertugas di bidang hankamnas dan melihat berbagai potensi penerimaan negara yang bisa lebih besar dari PPN sembako dan pendidikan. Saran saya, sebaiknya pemerintah menggali potensi ini, tentu dengan baik-baik, bukan secara semena-mena.

 

Citasi untuk artikel jurnal di kolom ini:

Kaisa Alavuotunki, Mika Haapanen & Jukka Pirttilä (2019) The Effects of the Value-Added Tax on Revenue and Inequality, The Journal of Development Studies, 55:4, 490-508, DOI: 10.1080/00220388.2017.1400015

Wibowo, D.H. When can physical distancing be relaxed? A health production function approach for COVID-19 control policy. BMC Public Health 21, 1037 (2021). https://doi.org/10.1186/s12889-021-11088-x

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com