Dilansir dari Kontan, sebelumnya BPK menilai pengelolaan utang pemerintah pusat kurang efektif dalam menjamin biaya minimal dan risiko terkendali, serta kesinambungan fiskal untuk periode 2018 hingga kuartal ketiga tahun lalu.
Baca juga: Janji Jokowi Bawa RI Swasembada Kedelai dalam 3 Tahun dan Realisasinya
Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2019, BPK menyatakan pengelolaan utang pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas tidak efektif lantaran strategi pengembangan pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik belum meningkatkan likuiditas pasar SBN.
“Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pengelolaan utang pemerintah pusat kurang efektif untuk menjamin biaya minimal dan risiko terkendali serta kesinambungan fiskal,” tulis BPK dalam laporannya.
BPK menilai penerapan kebijakan pengembangan pasar SBN serta dampaknya terhadap pencapaian pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid juga dinilai masih memiliki kelemahan dalam perencanaan maupun pelaksanaan untuk mencapai target atau arah kebijakan.
BPK juga menilai pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak memiliki parameter dan indikator pencapaiannya.
Baca juga: Apa Kabar Janji Jokowi Turunkan Harga Daging Sapi Jadi Rp 80.000 Per Kg?
Kebijakan dan strategi pengelolaan utang pemerintah yang dituangkan dalam dokumen-dokumen perencanaan dan penganggaran belum dapat diukur pencapaiannya.
Hal tersebut karena pemerintah belum memiliki laporan pertanggungjawaban atas kebijakan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif.
Definisi dan indikator kegiatan produktif dalam pemanfaatan utang belum jelas diungkap dalam dokumen perencanaan pemerintah.
“Pertumbuhan PDB tidak selaras dengan pertumbuhan utang, mengindikasikan tujuan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif sesuai dengan Renstra DJPPR belum sepenuhnya tercapai,” ungkap BPK.
Baca juga: Makin Menumpuk, Utang Luar Negeri Indonesia Capai Rp 5.803 Triliun
BPK juga menilai terdapat peningkatan belanja bunga utang dan pemanfaatan utang sebagian besar masih untuk pembiayaan utang jatuh tempo dan bunga utang (refinancing) sepanjang 2014–2019.
“Akibatnya, pencapaian pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak dapat diukur secara memadai, dan kesinambungan fiskal dan kemampuan membayar kembali utang pemerintah pada masa mendatang berpotensi terganggu,” tulisnya.
BPK pun memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menyusun kerangka kerja mengenai manajemen risiko keuangan negara, parameter hingga indikator pembiayaan, menyempurnakan kebijakan dalam penetapan yield, dan menetapkan kebijakan monitoring dalam menetapkan estimasi yield surat utang.
Bank Dunia atau World Bank beberapa waktu lalu menyetujui pinjaman baru sebesar 500 juta dollar AS yang diajukan pemerintah Indonesia. Utang baru dipakai untuk memperkuat sistem kesehatan nasional.
Baca juga: Jokowi Tarik Utang Baru Rp 13 Triliun dari Bank Dunia
Beberapa di antaranya yakni penambahan tempat isolasi pasien virus corona, tempat tidur rumah sakit, penambahan tenaga medis, lab pengujian, serta peningkatan pengawasan dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi.
Selain itu, pinjaman dari Bank Dunia juga akan dipakai pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memperluas program vaksinasi Covid-19.