Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

RUU Perlindungan Data Pribadi dan Monetisasi Jejak Digital Pengguna

Kompas.com - 24/06/2021, 20:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM Rapat Paripurna, DPR memutuskan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) diperpanjang (22/6/2021). Ini adalah momen bagi kita untuk menelisik lebih dalam isu dan muatan RUU tersebut. UU ini sangat penting bagi kita, di saat ekonomi digital Indonesia tumbuh eksponensial.

Google dan Temasek (2020) melaporkan, pengguna e-commerce Indonesia meningkat 37 persen karena pandemi, Kenaikan tersebut di atas rata-rata ASEAN.

Sementara pada 2021, Centro Ventures merilis startup Indonesia menerima investasi 70 persen di banding negara lain di ASEAN. Semua itu mengarah pada satu hal: ekonomi digital Indonesia bakal tumbuh pesat. Google memprediksi nilai ekonomi digital Indonesia bakal mencapai 80 miliar dollar AS pada 2025.

Dalam konteks itu, ada dua UU yang beririsan langsung. Pertama UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan kedua, UU PDP. UU yang pertama bakal direvisi seputar isu penyebaran berita bohong.

Sementara terkait RUU PDP, banyak pengamat menilai rancangannya masih terlalu dangkal. Dari jumlah halaman saja, hanya di angka 30-an. Bandingkan dengan UU sejenis di Hong Kong yang mencapai 160-an halaman. Akan jauh sekali jika dibandingkan dengan General Data Protection Regulation (GDPR) di Eropa. Belum termasuk beberapa catatan substansial: siapa, apa dan bagaimana serta lembaga yang berwenang, yang dianggap belum tegas.

Catatan penting lainnya, bagaimana UU PDP dapat merespons tantangan dengan lanskap yang lebih dalam: jejak digital (digital footprint) dan pemanfaatannya, yang nyaris belum tersentuh di RUU saat ini termasuk dalam naskah akademiknya.

Dalam RUU itu data dikategorikan dua: umum dan spesifik. Data yang umum seperti nama, jenis kelamin, agama dan seterusnya. Sedangkan yang spesifik seperti data: biometrik, kesehatan, genetika, orientasi seksual, pandangan politik, keuangan pribadi dan lainnya. Tidak ada pasal yang mengisyaratkan bagaimana raw-data dalam bentuk jejak digital, terlindungi dari penggunaan yang tidak sah, wajar dan adil.

Profil Pengguna

Beberapa waktu terakhir santer masalah kebocoran data: data peserta BPJS dan data pengguna marketplace tertentu. Itu merupakan kasus pelanggaran serta penyalahgunaan yang kasat mata: data bocor. Namun tahun 2014 ada skandal Cambridge Analytica (CA) dengan modus yang lebih shopisticated, canggih! Profil pengguna diekstraksi dari sebuah game tertentu di Facebook dan digunakan untuk memetakan profil pemilih di Pemilu AS. Content-targeted campaign dibuat berdasar profil pengguna sehingga efektif mempengaruhi mereka secara personal.

Ada satu pasal yang nampaknya berusaha memitigasi kasus serupa, “Pemilik Data Pribadi berhak untuk mengajukan keberatan atas tindakan pengambilan keputusan yang hanya didasarkan pada pemrosesan secara otomatis terkait profil seseorang (profiling)”, pasal 10. Meski hal itu belum imperatif, sebab di republik yang literasi serta penegakan hukumnya masih lemah ini, hak pengajuan keberatan bisa berhadapan dengan ribuan tembok penghalang. Perintah itu harusnya berbunyi, “Pihak pemroses data dilarang melakukan...”.

Nah, di masa mendatang, bahkan sudah terjadi hari ini, modus canggih seperti itu bakal massif terjadi. Sebagian startup Indonesia sudah investasi besar-besaran ke machine learning, yakni sebuah kecerdasan buatan guna memproses suatu big data.

Apa yang namanya big data jangan dibayangkan sebagai data yang di-entri melalui kolom tertentu, melainkan raw-data dari jejak digital para pengguna. Jejak digital itu bisa berupa: like konten tertentu, komentar, konten posting, jejak pencarian, jejak pembelian, durasi melihat konten dan banyak detail lainnya. Oleh kecerdasan buatan jejak digital ditambang (data mining), diekstraksi dan diolah. Hasilnya, suatu profil pengguna dengan sederet aktivitasnya.

Eropa sangat memahami modus operandi canggih tersebut sehingga mereka mengatur apa yang namanya right to be forgotten, hak untuk dilupakan di GDPR, yakni suatu protokol yang melarang jejak digital pengguna direkam oleh pemroses data. Pengaturan seperti itu sangat relevan juga bagi warga Indonesia, yang 202,6 juta warganya terhubung internet dengan rata-rata penggunaan 5 jam per hari (We are Social, 2021).

Surveillance Capitalism

Nampaknya para perumus RUU harus memahami betul bahwa kita memasuki epos zaman yang berbeda. Shoshana Zuboff, Profesor Harvard, menyebutnya sebagai “the Age of Surveillance Capitalism”, era kapitalisme pengawasan, yang lebih canggih di banding kapitalisme manajerial atau era klasik sebelumnya. Era kapitalisme manajerial ditandai oleh Gm dan Ford. Sedang era kapitalisme pengawasan ditandai oleh Google dan Facebook, kata Zuboff. Mereka memiliki logika kerja yang sama, namun dengan obyek yang berbeda.

Google, masih kata Zuboff, adalah perintis kapitalisme pengawasan. Orang awam mengira Google merupakan perusahaan search engine, namun sesungguhnya adalah perusahaan iklan. Iklan menjadi sumber pendapatan terbesar dari anak perusahan Alphabet ini. Agar iklan bisa efektif, mereka membuat targeted advertising. Agar targeted dan relevan bagi masing-masing pengguna, machine learning bekerja. Jejak digital pengguna diekstraksi dan diolah sedemikian rupa, hasilnya suatu profil pengguna dengan preferensi-preferensinya. Insight itulah yang dijual Google kepada para pengiklan melalui GoogleAds dan produk lainnya.

Zuboff menerangkan cara kerjanya. Bermula dari user behavior yang terakumulasi menjadi big data. Sebagian diolah dan digunakan untuk memperbaiki layanan pencarian, misalnya: ketepatan konten, ketepatan kata, kecepatan dan sebagainya. Sebagian (besar) lainnya, menjadi apa yang ia sebut sebagai “behavioral surplus”. Behavioral surplus ini kemudian diolah lebih dalam menjadi prediction product. Prediksi itulah yang dijual Google, mirip seperti yang dilakukan Cambridge Analytica.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com