Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

RUU Perlindungan Data Pribadi dan Monetisasi Jejak Digital Pengguna

Kompas.com - 24/06/2021, 20:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Agar terbayang cara kerjanya begini ceritanya. Anda punya 10 jejak dalam suatu aktivitas pencarian tertentu. Tiga jejak digunakan Google untuk memperbaiki layanan mereka, tujuh sisanya menjadi diambil—Zuboff lebih keras lagi, menyebutnya sebagai dirampas (dispossession)—mereka untuk diolah menjadi prediction product tadi. Bagian yang tujuh itu berarti keluar dari pernyataan persetujuan yang biasanya ada di aplikasi tertentu. Jadi gunung emas baru itu sesungguhnya berasal dari “limbah” yang dihasilkan oleh pengguna. Sayangnya, pengguna tak pernah kebagian bongkahan atau sekedar serpihan emasnya.

Data as Labor

Untuk mempertajam Zuboff, mari kita baca makalah Imanol Arietta Ibarra dkk dari Stanford University, “Should We Treat Data as Labor? Moving Beyond Free”. Ibarra bilang sebenarnya model bisnis “freemium” yang dibarter dengan pertukaran data tidak membangun martabat bagi pengguna (digital dignity). Sebaliknya, menempatkan mereka sebagai sapi perahan yang dieksploitasi terus-menerus secara over-used untuk kepentingan platform belaka. Ibarra menawarkan cara baca baru, bagaimana pengguna dipandang sebagai “pekerja data”, yang karenanya berhak atas pembagian nilai lebih platform.

Mempertegas pandangannya, Ibarra memberikan kerangka analisis yang bagus bagaimana kita seharusnya memandang data: data as capital (DaC) dan data as labor (DaL). Dalam soal kepemilikan, DaC melihat data dimiliki oleh perusahaan, sebab mereka yang mengekstraksi dengan sumberdaya yang dimiliki. Sebaliknya, dalam DaL, data yang dalam bentuk jejak digital itu, dimiliki oleh individu pengguna.

Bagaimana masa depan pekerjaan dengan adanya kecerdasan buatan, perspektif DaC mengusulkan Universal Basic Income (UBI), yang tentu saja anggaran UBI diambil dari pajak, salah satunya pajak dari tech companies. Sedangkan DaL memposisikan lebih bermartabat, bukan skema santunan tanpa kontribusi, sebaliknya melelatakkan “data sebagai pekerjaan”. Karenanya pengguna dibayar dalam proses “memproduksi” data tersebut.

Perspektif Ibarra ini sangat fundamental, sebab mampu menawarkan pandangan bagaimana harga diri individu terbentuk. Ia mengatakan pada DaC, sebab adanya skema UBI, maka lahir budaya “beyond work”. Sedangkan DaL, melahirkan martabat digital, yang memposisikan pengguna sebagai produsen data. Sehingga kontrak sosial yang terjadi berbeda antara DaC, di mana free service for free data, sedangkan pada DaL, terbentuknya suatu data labor market, yang tentu saja lebih adil dan memberi insentif besar bagi pengguna.

Data Work

Contoh operasionalnya mari kita simak pada model bisnis salah satu startup Indonesia, Snapcart.global. Startup ini bergerak di bidang riset pasar, seperti perusahaan riset pasar lainnya, bedanya mereka memanfaatkan big data. Untuk memperoleh data, mereka merilis aplikasi. Cara kerjanya pengguna mengunggah struk belanja yang ditentukan ke aplikasi tersebut. Setiap unggahan struk diberikan imbalan sejumlah koin. Struk dengan nilai transaksi sampai dengan Rp 50.000 akan diberikan 250 koin, Rp 51.000-Rp 100.000 diberikan 500 koin, Rp 101.000 - Rp500.000 dapat1000 koin dan seterusnya. Koin tersebut oleh pengguna dapat ditukarkan menjadi uang.

Dengan machine learning, Snapcart mengolah raw-data struk tadi, hasilnya sebuat data perilaku konsumen di kota/ kabupaten dengan jenis kelamin, usia serta tingkat konsumsi bulanannya. Laporan itu mereka jual dalam bentuk layanan: PASS, OPTI, TASC, ke perusahaan yang membutuhkan, misalnya sektor FMCG, F&B dan sebagainya. Dari sanalah Snapcart memperoleh pendapatan dan membaginya kepada pengguna dalam bentuk koin atas tiap struk belanja yang diunggah.

Dalam kasus Snapcart di atas, peran pengguna terlihat nyata melakukan pekerjaan (mengunggah struk belanja), yang kemudian diberikan imbalan (fee) berupa koin. Hal ini adil bagi kedua pihak, Snapcart dan para pengguna, yang jumlahnya saat ini mencapai 1 juta orang. Dalam perspektif Ibarra, Snapcart berada di sisi DaL. Bayangkan logika itu kita gunakan pada perusahaan iklan Google, di mana kita bekerja ketika melakukan pencarian inkuiri tertentu di mesinnya. Atas pekerjaan itu, Google memperoleh raw-data, diolah dan kemudian dijual ke perusahaan pengiklan. Maka seharusnya, kita sebagai pengguna berhak atas fee, bukan?

Data Labor Union

Dengan melihat perkembangan ekonomi digital yang begitu pesat, UU PDP mendatang harus sangat adaptif dengan itu. Dengan imperatif yang melindungi pemilik data dari penyalahgunaan atau ketidakadilan pihak pemroses data. Google, Facebook, misalnya, tak bisa dilihat sebagai platform mesin pencari dan media sosial belaka, yang memberikan fasilitas gratis kepada pengguna. Mereka harus dilihat sebagai perusahaan iklan yang memonetisasi jejak digital penggunanya untuk kepentingan bisnis. Ada hak ekonomi pengguna (data as labor) yang berhubungan erat dengan mereka.

Dalam fungsi UU sebagai social engineering, UU PDP harus membuka ruang dan mengatur terhadap pola relasi baru seperti di atas. Yang memberikan peluang bagi warga untuk menuntut lebih hak ekonominya kepada platform. Konkretnya, perlu ada pasal yang mengatur pemanfaatan data serta imbal hasil manfaat yang diberikan kepada pengguna. Perlu juga merekognisi prakarsa masyarakat untuk mendirikan perhimpunan atau serikat “pekerja data”.

Contoh nyatanya seperti di Belanda, warga mendirikan Datavakbond atau Data Labor Union pada tahun 2018. Mereka menuntut Google dan Facebook untuk membayar terhadap proses produksi data dari penggunaan platform oleh pengguna selama ini. Bahwa “Tak ada makan siang gratis” juga harus dilempar ke meja para giant tech companies itu. Mereka harus membagi hasilnya ke para pengguna. Kata Ibarra, itu yang akan membuat ketimpangan sosial-ekonomi berkurang. Pengguna Facebook dan Google bersatulah! Anda setuju?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com