Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BPK Khawatir Pemerintah Tak Sanggup Bayar Utang, Ini Kata Stafsus Sri Mulyani

Kompas.com - 26/06/2021, 14:10 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai posisi utang dan beban bunga utang pemerintah cukup berisiko. Pemerintah diharapkan dapat mengerem laju utang dan beban bunga sembari meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi perpajakan.

BPK menyatakan kekhawatiran kesanggupan pemerintah dalam melunasi utang plus bunga yang terus membengkak sejak beberapa waktu terakhir. Kekhawatiran lainnya, yakni rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang juga terus meningkat.

Sejumlah indikator menunjukkan tingginya risiko utang dan beban bunga utang pemerintah. Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 19,06 persen.

Angka tersebut melampaui rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang sebesar 7-10 persen dan standar International Debt Relief (IDR) sebesar 4,6-6,8 persen.

Baca juga: Jadi Kontroversi, Berapa Utang Pemerintah di Era Jokowi?

Adapun rasio utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 369 persen, jauh di atas rekomendasi IMF yang sebesar 90-150 persen dan standar IDR sebesar 92-167 persen.

Selain itu, rasio pembayaran utang pokok dan bunga utang luar negeri (debt service ratio) terhadap penerimaan transaksi berjalan pemerintah pada tahun 2020 mencapai 46,77 persen.

Angka tersebut juga melampaui rekomendasi IMF yang sebesar 25-35 persen. Namun, nilai tersebut masih dalam rentang standar IDR yang sebesar 28-63 persen.

Stafsus Sri Mulyani tanggapi BPK

Dilansir dari Harian Kompas, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk menjaga pengelolaan utang pemerintah dan pembiayaan APBN agar selalu dalam kondisi aman.

Baca juga: Peringatan BPK: Kenaikan Utang Pemerintah Sudah Level Mengkhawatirkan

Terkait debt service ratio terhadap penerimaan transaksi berjalan, Yustinus mengatakan, hingga tahun 2019, pemerintah selalu menjaga rasio tersebut di rentang bawah rekomendasi IMF.

Sayangnya, saat pandemi terjadi pada 2020, rasio ini meningkat menjadi 39,39 persen. Kenaikan serupa juga terjadi di sejumlah negara, seperti Filipina (48,9 persen), Thailand (50,4 persen), China (61,7 persen), Korea Selatan (48,4 persen), dan Amerika Serikat (131,2 persen).

Yustinus mengatakan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menekan beban bunga utang, antara lain lewat pembagian beban (burden sharing) dengan Bank Indonesia, konversi pinjaman luar negeri dengan suku bunga mendekati nol persen, hingga penurunan imbal hasil surat berharga negara (SBN) menjadi 5,85 persen.

Dengan berbagai strategi dan respons kebijakan tersebut, Yustinus mengatakan, stabilitas fiskal dan ekonomi relatif baik.

Baca juga: Utang Pemerintah Jokowi Tembus Rp 6.074 Triliun, Mampukah Membayar?

Terbukti, klaim dia, lembaga pemeringkat kredit internasional mengapresiasi dan mempertahankan peringkat Indonesia. Padahal, 124 negara mengalami penurunan, bahkan ada yang meminta pengampunan utang.

”Pemerintah sependapat untuk terus waspada. Kita mengajak semua pihak bekerja sama dalam mendukung pengelolaan pembiayaan negara agar hati-hati, kredibel, dan terukur," ungkap Yustinus.

"Reformasi pajak untuk optimalisasi pendapatan negara juga terus dilakukan agar kemampuan membayar utang juga terjaga,” ujar komisaris BUMN PT Adhi Karya (Persero) Tbk ini. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com