“Bukan karena kita ikut-ikutan dari informasi pihak lain atau istilahnya FOMO (Fear of Missing
Out),” katanya.
Sehingga, ada baiknya mempelajari detail instrumennya sebelum berinvestasi, baik sisi
positifnya maupun risiko yang akan terjadi.
Baca juga: 5 Cara Menghindari Investasi Kripto Bodong
3. Risk profile
Risk Profile adalah kemampuan seseorang dalam menerima potensi risiko yang terjadi. Menurut Gembong, ada tiga jenis risk profile dalam berinvestasi.
Pertama, kategori Konservatif yang tidak bisa atau tidak kuat jika menghadapi potensi
penurunan nilai investasinya.
Kedua, kategori Moderat yang mana calon investor dapat menerima potensi risiko penurunan
nilai investasi kurang dari 10 persen.
Ketiga, kategori Agresif yang mana calon investor sanggup menerima potensi penurunan nilai
investasi lebih dari 10 persen.
Misalnya, di saham dan nilai saham tersebut turun lebih dari 10 persen maka investor masih
tenang, karena dia mengerti risiko dan potensi keuntungan yang akan didapat.
4. Investasi dari uang menganggur bukan uang dapur
Investasi besar kaitannya dengan ketidakpastian di masa depan. “Semakin tinggi potensi
keuntungan maka risiko juga semakin tinggi,” sebut Gembong.
Oleh karena itu ucap Gembong, gunakan uang yang menganggur untuk berinvestasi. Uang ini khusus disiapkan memang untuk menabung jangka panjang.
Jangan gunakan uang dapur, atau uang yang digunakan memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Apalagi berinvestasi dengan utang alias pinjam,” tegasnya.
Bila terjadi kondisi yang ekstrem, misalnya efek pandemi di tahun 2020 lalu yang membuat
produk investasi saham dan reksadana saham mengalami penurunan signifikan, maka kamu
akan tetap tenang karena kebutuhan sehari-hari sudah terpenuhi dari uang dapur.
5. Mulai dari nominal kecil
Berinvestasi tidak harus dimulai ketika kamu sudah kaya. Kamu bisa mulai dengan jumlah
nominal yang kecil.