Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

Futurismo: Aksi Korporasi Amazon dan "Brand Memory" MGM

Kompas.com - 08/07/2021, 12:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tak ada hal mendesak lain, ini jamannya kolaborasi. Oh, jadi sudah tidak ada kompetisi?

Bukan itu. Kompetisi tetap ada, tapi arena kompetisi telah mendesak korporasi-korporasi untuk konsolidasi. Apa yang dikonsolidasikan?

Ada tiga: kekuatan finansial, kekuatan pasar konsumen, dan kekuatan sumberdaya-nya. Teknologi bisa dibeli seketika, asal ada uangnya.

Kekuatan finansial sudah jamak dibahas. Tak ada yang aneh dengan hal itu. Pun begitu dengan kekuatan pasar konsumen, yang suka atau tidak makin hari makin kuat bargaining power-nya, juga semakin rewel. Jadi, tak ada yang aneh juga dengan hal ini.

Baca juga: AirAsia Akuisisi Bisnis Gojek di Thailand

Sumberdaya? Nah ini dia kuncinya, karena sumber daya bisa berarti apapun. Mari kita bahas sedikit apa yang terjadi baru-baru ini.

Dalam pidatonya di penghujung Mei 2021 ini, CEO Amazon, Jeff Bezos menyiratkan harapan besarnya saat Amazon mengakuisisi MGM Studio. Inilah salah satu studio besar di Hollywood yang legendaris.

Lalu pertanyaannya, apanya yang menarik dari sebuah studio yang bernama MGM (Metro Goldwyn Meyer) sehingga orang terkaya di dunia menginginkannya menjadi bagian dari group Amazon? Bukankah MGM hampir bangkrut beberapa waktu lalu?

Frank Pallotta, editor bisnis CNN mengatakannya, “Kenapa tidak? Alasannya ya karena Amazon mampu membelinya.”

Tak ada yang salah dengan pandangan Pallotta. Sebagai salah satu raksasa korporasi di muka bumi ini, bagi Amazon, membeli perusahaan ya seperti sedang belanja pakaian, atau beli sepatu. Tentu itu beralasan sekali.

Amazon super-liquid. Hampir semua lini bisnisnya untung besar, dan inovasi-inovasi besar tak pernah berhenti untuk menciptakan ekosistem yang lengkap dan masif agar semua penduduk bumi, baik yang hi tech maupun low tech dapat menikmati semua layanan Amazon.

Membeli perusahaan ya sesederhana itu: karena mampu membeli.

Namun, masih menurut Pallotta, bukan kebetulan belaka kalau Amazon tertarik membeli MGM Studio. Selama pandemi, industri entertainment seperti Group Disney, Warner dan Netflix tercatat meraup untung besar.

Lalu apa hubungannya dengan Amazon mengakuisi MGM Studio? Jawabannya ada di Intellectual Property-nya (IP), copyrights, paten.

MGM Studio memiliki koleksi lebih dari 4.000 film dan lebih dari 17.000 serial televisi. Membeli MGM berarti memiliki keseluruhan koleksi tersebut yang merupakan produksi sepanjang lebih dari 60 tahun sejak MGM pertama kali memproduksi film.

Baca juga: ByteDance Bakal Akuisisi Perusahaan Game Mobile Legend

Koleksi MGM inilah salah satu sumber daya yang saya maksud tadi. Dan jangan lupa, Amazon sendiri memiliki lini bisnis Amazon Prime Video (APV) serta Amazon Studio. Dua lini bisnis ini sangat berkepentingan sekali untuk menjadi besar dalam waktu singkat.

Mengakuisisi MGM dilihat sebagai jawaban atas visi itu.

Namun ada satu yang menggelitik. Mengapa MGM? Mengapa bukan Disney yang jelas-jelas kaya raya soal koleksi film-filmnya. Atau Netflix yang memiliki sekitar 208 juta pelanggan berbayar di seluruh dunia. Atau, Warner Studio, HBO, atau jaringan studio dari California hingga New York? Bukankah Amazon cukup mampu untuk memborong itu semua?

Bond. James Bond.

Inilah tiga kata ajaib yang masih menurut Frank Pallotta menjadi daya tarik tersendiri bagi bos Amazon untuk mengakuisisi MGM Studio.

Bond, James Bond. Brand ‘James Bond’ adalah waralaba film tersukses sepanjang masa sejak diluncurkan edisi pertamanya tahun 1962 (Dr. No).

Dengan edisi ke-27 siap rilis tahun 2020 (‘No Time To Die’, mundur ke tahun ini karena pandemi), film yang mengisahkan sepak terjang Agen 007 asal Inggris menyelamatkan dunia telah menjadi inspirasi kreativitas film-film berikutnya sepanjang hampir enam dekade.

Plot cerita yang unik dengan menonjolkan gawai-gawai canggih khas agen rahasia menjadi semacam rumus paten film-film ‘penyelamatan dunia’ lainnya seperti seri Mission Impossible (remake, sudah 6 edisi), Fast Furious (sudah 8 edisi), XXX (sudah 3 edisi), Kingsmen (sudah 2 edisi), dll.

Bisa dibayangkan para pemirsa film action tak pernah berhenti menggemari genre film yang menyuguhkan para jagoan berotot yang pandai berkelahi dan dilengkapi dengan berbagai peralatan canggih nan unik.

Baca juga: Akuisisi Air Mancur Group, Combiphar: Ini Warisan Indonesia, Sayang Jika Diambil Asing

 

Ini yang dicoba dikapitalisasi Amazon. Sentimentalisme ketokohan dalam brand James Bond 007 dan eksibisi berbagai peralatan canggih para agen rahasia. Bukan sekadar MGM-nya.

Kapitalisasi Brand Memory

Top of Mind – hal apa yang paling kuat di dalam benak. Misalnya saja, Youtube. Youtube jelas lebih kuat brand-nya dibanding Google Video, dan itu alasan kenapa pada akhirnya Google menyerah dengan produknya sendiri dan mengakuisisi Youtube yang saat itu "hanya" memiliki 72 juta pelanggan seharga "cukup murah" 1,65 miliar dollar AS.

Google rela mengubur Google Video, buang begitu saja jutaan dollar AS biaya pengembangannya, dan masih harus mengeluarkan mahar beli Youtube seharga 1,65 miliar dollar AS dari tiga orang kreatif pencipta Youtube.

Yang mana si pencipta Youtube bahkan tak tahu persis bagaimana memonetisasinya secara masif.

Sama seperti Youtube, Tik Tok juga memiliki kekuatan brand memory yang masif, jauh lebih besar daripada brand Bytedance yang memilikinya. Taipan mengakuisisi Tik Tok, bukan Bytedance. Amazon mengakuisisi MGM karena James Bond-nya, juga deep catalogue yang sangat masif jumlahnya.

Baca juga: 3 Cara Meningkatkan Nilai Brand Bisnis Anda

Hanya ada dua target saat sebuah perusahaan mengakuisisi perusahaan lainnya: jumlah massa (pelanggannya), atau jumlah aset – dalam istilah akuisisi Amazon atas MGM, ‘deep catalogue’-nya – yang bernilai tinggi.

Google membeli Youtube karena tahu betul bahwa keterlambatan memasif-kan brand produknya sendiri, Google Video, akan memberi ruang gerak yang longgar bagi para copycats untuk meniru model bisnisnya dan bahkan memberi mereka start awal yang lebih mudah.

Youtube harus diakuisisi segera karena brand-nya sudah kuat, basis pelanggannya sangat besar, dan Google tahu betul bagaimana membesarkan Youtube karena ia sudah memiliki ekosistemnya.

Cara Amazon memilih perusahaan mana yang akan diakuisisi menjadi semacam trend baru. Tentu uang bisa bicara banyak.

Mengakuisisi brand yang tepat sejauh ini menjadi formula bagi korporasi-korporasi besar yang hendak melakukan ekspansi secara instan dengan target massa dan aset.

Di Indonesia sendiri sudah jamak terjadi banyak akuisisi hanya melibatkan brand-nya saja, sementara aset lainnya (pabrik, SDM, bangunan dan mesin-mesin, dll) tidak dimasukkan dalam kontrak akuisisi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com