Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abra Talattov dan M Ridzki Wibowo
Peneliti

Abra Talattov - Kepala Centre of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) Institute for Development of Economics and Finance (Indef).

M Ridzki Wibowo - Sekretaris Umum Sustainable Development Indonesia (SDI).

Isu Kelestarian dan Ekspor Andalan Indonesia

Kompas.com - 14/07/2021, 19:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Memang laporan itu tidak spesifik tentang Indonesia. Namun, di dalamnya terdapat berbagai contoh kasus Indonesia, khususnya terkait minyak sawit dan kayu atau olahan hasil hutan lainnya.

Sebagai contoh, sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang menjadi upaya Indonesia mengoptimalkan produksi, hilirisasi, dan ekspor produk kelapa sawit dinilai lemah di banyak hal.

Itu mulai dari terbatasnya peran LSM, problem transparansi, hingga dalam persyaratan tidak ada deforestasi, lahan gambut, kebakaran, hak pekebun rakyat, hak masyarakat adat dan banyak hal lainnya.

Padahal, ISPO sebenarnya telah mengakomodasi berbagai prinsip bisnis perkebunan yang berkelanjutan mulai dari legalitas lahan, penanganan limbah, hingga kesejahteraan petani.

Di bidang kehutanan, produk olahan hasil hutan Indonesia yang sudah mendapat sertifikat Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) dan Forest Stewardship Council (FSC) juga “divonis” tidak benar-benar lestari.

Berbagai tudingan ketidakpatuhan ditunjukkan, mulai dari High Conservation Value (HCV) hingga pelanggaran hak masyarakat adat.

Kritik dan tudingan Greenpeace di atas, ditambah gencarnya kampanye anti-minyak sawit yang bahkan sudah masuk Parlemen Uni Eropa, jelas dapat mengganggu ekspor komoditas andalan Indonesia.

Jangan lupa, Indonesia pernah terkena boikot produk kertas dan bubur kertas pada awal dekade 2010-an oleh berbagai korporasi besar dunia. Akibatnya, ekspor kertas dan bubur kertas yang mencapai 7,12 miliar dollar AS (2010) anjlok sekitar 1,6 miliar dollar AS pada 2012, atau lebih dari seperlimanya. Tentu kita tidak ingin kejadian seperti ini berulang.

Kelestarian dan komunikasi

Situasi di atas jelas perlu disikapi dengan komitmen dan kinerja kelestarian yang memang kredibel. Namun, hal ini tidak cukup.

Indonesia juga harus mampu mengkomunikasikan kinerja tersebut dengan gencar ke pasar global, serta berani mengoreksi tudingan yang lemah dasarnya.

Sebagai contoh adalah komitmen dan kinerja pengelolaan hutan lestari. Selama lebih dari 20 tahun, hutan tanaman industri (HTI) serta kertas dan bubur kertas Indonesia menjadi sasaran kampanye negatif global. Krisis kebakaran besar dan asap pada 2015 pun menambah buruk citra Indonesia.

Akan tetapi, belajar dari hal tersebut, pemerintah, para pemangku kepentingan, dan para pelaku usaha HTI dan kertas atau bubur kertas bekerja semakin keras mewujudkan pengelolaan hutan lestari.

HTI akhirnya berhasil mendapatkan sertifikat lestari dari PEFC. Pada 2015, luas HTI yang bersertifikat baru sebesar 727.000 hektar. Pada 2016 dan 2017 luasnya naik drastis menjadi 2,4 juta hektar dan 3,7 juta hektar.

Keberhasilan pengelolaan hutan lestari ini ternyata berdampak terhadap pulihnya ekspor. Ekspor yang turun terus sejak 2010, bahkan hanya menjadi sekitar 5 miliar dollar AS pada 2016, akhirnya pulih ke level 7,15 miliar dollar AS pada 2019.

Pada 2020, akibat pandemi, ekspor turun sedikit menjadi 6,8 miliar dollar AS. Dampak positif ini harus dijaga dengan komitmen dan kinerja kelestarian yang lebih baik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com