Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Denon Prawiraatmadja
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perhubungan

Menguatkan Jembatan Udara yang Mulai Rapuh

Kompas.com - 16/07/2021, 14:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Undang-Undang no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah no 32 tahun 2021 memberi angin segar pada dunia penerbangan nasional. Terutama dari sisi investasi pendirian suatu badan usaha atau maskapai penerbangan.

Pada aturan tersebut, administrasi pendirian maskapai diperpendek dan dipermudah, di antaranya dengan mengurangi jumlah pesawat yang harus dimiliki dan dikuasai.

Di aturan yang lama, yaitu UU no. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, untuk mendirikan sebuah maskapai penerbangan berjadwal, diperlukan 5 pesawat milik dan 5 pesawat yang dikuasai, bisa melalui sewa atau yang lainnya.

Baca juga: Riset Moody's: Industri Penerbangan akan Membaik Seiring Vaksinasi

 

Di aturan yang baru, untuk mendirikan maskapai berjadwal hanya perlu 1 pesawat milik dan 2 pesawat dikuasai.

Jenis pesawatnya tentu saja sesuai dengan air operator certificate (AOC) yang dimiliki maskapai tersebut. Yaitu pesawat dengan kapasitas di bawah 30 jumlah kursi untuk AOC 135 dan kapasitas di atas 30 kursi untuk AOC 121.

Momok pengusaha

Pengadaan pesawat memang menjadi momok tersendiri bagi pengusaha yang mau mendirikan maskapai. Harga satu pesawat baru bisa mencapai Rp 1 triliun, tergantung jenis pesawatnya. Untuk pesawat yang second hand, harganya bisa lebih murah, tapi biasanya biaya perawatannya juga lebih besar.

Jadi bisa dibayangkan berapa modal awal yang bisa dipangkas saat syarat kepemilikan pesawat tersebut dikurangi. Dengan demikian diharapkan industri penerbangan menjadi kompetitif dan menarik investor dibanding masuk ke industri lain.

Memang syarat kepemilikan pesawat yang bisa dikatakan sebagai modal awal utama sebuah maskapai ini juga dibuat berdasarkan berbagai perhitungan.

Perhitungan yang utama yaitu untuk memastikan sebuah maskapai tersebut kuat secara modal dan memastikan pemilik dan pengelola maskapai tidak main-main dengan pengelolaan maskapainya. Karena operasional penerbangan ini taruhannya nyawa. Keselamatan penerbangan termasuk keselamatan penumpang adalah hal yang utama dan harus dilindungi.

Jika pesawat tidak laik terbang entah karena kurang dirawat, ada sparepart yang rusak atau sumber daya manusia terutama pilot-nya tidak siap, maka pesawat tidak boleh terbang.

Baca juga: INACA Prediksi Industri Penerbangan Mulai Pulih pada 2022

Produksi pesawat

Pesawat terbang saat ini sebagian besar diproduksi oleh negara lain. Jadi kalau pengusaha Indonesia mau mendirikan maskapai, harus impor pesawat dengan menggunakan mata uang dollar AS.

Impor tentu saja biayanya tergantung dari kurs mata uang rupiah terhadap dollar AS. Selain itu, administrasi impor pesawat juga tidak mudah.

Untuk itulah ada pemikiran memproduksi pesawat di dalam negeri. Percobaan produksi pesawat dalam negeri bahkan sudah dilakukan anak negeri sebelum negara Indonesia berdiri. Tahun 1930-an, kombinasi antara pengusaha dan teknisi pribumi Hindia Belanda dan perancang dari Belanda mampu membuat pesawat bernama Walraven 2 yang kemudian diterbangkan hingga Eropa.

Tradisi ini kemudian diteruskan anak bangsa sejak Indonesia merdeka. Sebut saja nama-nama Nurtanio, Wiweko Supomo dan yang lainnya, hingga kemudian BJ Habibie yang membesarkan Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) yang kemudian berganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (PTDI).

Kiprah PTDI berlanjut hingga saat ini dengan merancang dan membangun pesawat N219 Nurtanio.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com