Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herman Darnel Ibrahim

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) 2020 – 2025

Merenungkan Ambisi Dunia Menuju Zero Emission

Kompas.com - 19/07/2021, 15:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Target penurunan emisi karbon dan transisi energi dari fosil menuju energi terbarukan oleh Conference of the Parties (COP), United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), terlalu besar.

UNFCC merupakan. UNFCC merupakan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Coba bayangkan, saat ini bauran energi di dunia masih didominasi oleh energi fosil, yaitu 85 persen, sedangkan porsi energi terbarukan (ET) baru mencapai 10 persen, dan nuklir 4,5 persen.

Baca juga: Konversi ke EBT, PLN Bakal Pensiunkan PLTU Batubara Mulai 2026

 

Cita-cita dunia untuk menuju net zero emission (NZE) atau bebas dari emisi karbon dan transisi energi akan membalik posisi tersebut menjadi 90-95 persen energi bersih (ET) dan 5-10 persen fosil.

Investasi pengembangan energi surya dan angin (bayu) sudah dibenamkan hingga miliaran dollar AS, tetapi porsi baurannya masih sangat rendah, yaitu hanya 2 persen.

Protokol Kyoto

Pada tahun 1997, UNFCC melalui Protokol Kyoto, mencanangkan kewajiban bagi negara maju Annex 1 [negara industri/maju] untuk menurunkan emisi ke tingkat di bawah pra-industrialisasi.

Ratifikasi ketentuan itu berjalan alot dan baru mendapatkan konsensus pada 2004. Akhirnya, Protokol Kyoto menyepakati penurunan emisi dengan Program Clean Development Mechanism (CDM) dan Carbon Trading melalui mekanisme pasar.

Sejak consensus 2004, waktu pun terus berjalan untuk implementasi CDM dan perdagangan karbon (carbon trading). Ternyata negara-negara maju (Annex 1) yang sudah mencapai puncak emisi (peak emission) sebelum tahun 1995 nyaris tidak melakukan upaya penurnan emisinya.

Negara yang termasuk ke dalam Annex 1 juga tidak mendanai pengembangan energi terbarukan di negara-negara berkembang yang konsumsi energinya masih tumbuh signifikan.

China menggeliat dengan cepat menjadi negara industri baru sehingga kontribusi emisinya kian meningkat yang pada 2020 sudah mencapai 29 persen terhadap emisi dunia. Kemungkinan besar disebabkan oleh Protokol Kyoto yang tidak ada sanksinya.

Beberapa tahun terakhir, situasi berubah. Protokol Kyoto ditinggalkan karena negara Annex 1 memilih untuk tidak mematuhi Protokol tersebut.

Selain itu, arahnya berubah dengan kesepakatan baru di mana semua negara termasuk negara berkembang dengan pendapatan rendah (low income) diminta ikut menurunkan emisinya.

Oleh sebab itu, COP UNFCCC pada 2015 yang disebut dengan Paris Agreement merekomendasikan untuk tercapainya zero emission pada 2050.

Negara berkembang “diprovokasi” untuk tidak menggunakan energi batu bara dengan ancaman “embargo ekspor”. Padahal, dulu negara negara maju tersebut menjadi makmur melalui penggunaan energi fosil, seperti batu bara untuk menggerakan industrialisasi yang menghasilkan sekitar 75 persen emisi CO2 dunia.

Mencermati kisah dan jalannnya pembahasan dan realisasi hasil aksi penurunan emisi COP UNFCCC sejak 25 tahun lalu tak terbayangkan bahwa itu akan berjalan lancar dan berhasil sesuai kesepakatan.

Baca juga: PLN akan Bangun Pembangkit EBT Setelah Program 35.000 MW Selesai

 

Presiden negara terbesar kedua penghasil emisi saja, yaitu AS, pernah menarik diri dari Paris Agreement. Lalu China penghasil emisi terbesar, saat ini lebih dari 75 persen bahan bakar pembangkit listriknya masih menggunakan batu bara.

Peluang Pasar

Di sisi lain gagasan dan semangat net zero emission yang diprakarsai negara maju, juga belum tentu murni untuk perubahan iklim. Transisi energi akan membutuhkan infrastruktur baru, teknologi baru, investasi besar, dan pendanaan, untuk mengubah pasokan dari fosil ke energi terbarukan.

Bagi negara-negara maju, perubahan ini adalah peluang pasar/ekonomi. Adapun, bagi negara berkembang ini akan menambah beban/liabilities, akibat adanya stranded asset seperti batu bara yang tak lagi memiliki nilai ekonomi, dan pembangkit listrik yang akan retiring (pensiun dini) dan upaya-upaya lainnya.

Dalam transisi energi menuju bebas karbon, negara maju yang sudah makmur hanya menghadapi tantangan To Go Green [menurunkan emisi] dan mendapat peluang pasar besar dalam berbagai sektor.

Sementara itu, bagi negara berkembang seperti Indonesia, dalam transisi tersebut akan dihadapkan pada 2 (dua) tantangan besar To Grow dan To Go Green, ditambah adanya ancaman stranded asset.

Transisi energi di negara berkembang tidak akan semudah dan semurah di negara maju. Selama ini, untuk mencukupi listrik, investasi untuk pengembangan infrastruktur dilakukan melalui utang atau mengundang investor dengan jaminan pemerintah.

Upaya menumbuhkan ekonomi untuk menjadi lebih makmur juga membutuhkan investasi dan modal besar untuk pengembangan industri dan infrastruktur lainnya.

Baca juga: DEN Dorong Percepatan Transisi Menuju Energi Baru Terbarukan

Idealnya To Grow dan To Go Green berjalan berasamaan. Namun, faktanya negara maju yang hanya menghadapi To Go Green saja masih terlihat lambat dan belum berhasil. Apalagi negara berkembang seperti Indonesia.

Mari kita coba renungkan. Apakah upaya penurunan emisi CO2 melaui COP UNFCC ini benar-benar akan berhasil? Ataukah itu hanya sebuah gerakan euforia untuk pencitraan?

Seandainya To Grow dan To Go Green tak bisa bersamaan, mana yang akan dikorbankan? Apakah To Grow?

Apakah dalam membuat rencana dan target transisi energi, kita akan menyamai target negara- negara maju yang sudah makmur dan mencapai puncak emisinya sejak puluhan tahun lalu? Atau kita akan memilih lebih realistis dengan pertimbangan lateral?

Tidak perlukah kita meminta pengertian dunia bahwa untuk 10-15 tahun ke depan masih perlu dukungan energi fosil, seperti batu bara yang lebih murah dan tersedia dari domestik?

Keyakinan saya pribadi, net zero emission hanya akan terwujud jika ada penemuan luar biasa sumber energi bersih dan teknologi yang belum bisa dibayangkan apa dan bagaimana bentuknya.

Atau, akan terwujud jika semua masyarakat dunia membatasi penggunaan energi sebagaimana telah dilakukan oleh etnis Amish di Amerika dan Etnis Badui di Indonesia, yang membatasi penggunaan listrik dan kendaraan bermesin dalam kehidupan mereka. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com