KAWASAN Shinjuku, Tokyo Jepang. Pusat perbelanjaan yang selalu ramai didatangi turis dari berbagai penjuru dunia.
Shinjuku-dori street yang terletak di bagian timur menjajakan barang-barang bermerek mewah. Terdapat juga department store asli dari Jepang; Isetan, Keio, Takasimaya.
Sementara di bagian selatan, berjejer toko-toko yang menawarkan fashion terkini dengan harga terjangkau untuk pembeli berkantong tipis. Pada lantai dasar pusat perbelanjaan malah tersedia gerai yang disukai kaum perempuan, tawar-menawar.
Ada praktik pemasaran menarik dikawasan Shinjuku. Para penjaga gerai toko sering keluar dari tokonya untuk menyebarkan brosur cetak.
Ada bahkan karyawan yang pekerjaannya khusus menyebarkan brosur atau mengangkat pamflet yang diacung-acungkan ke udara ditengah kerumunan manusia.
Cara memasarkan model konvensional masih berlangsung dengan marak di Shinjuku dan berbagai pusat perbelanjaan lainnya di Tokyo.
Tokyo adalah kota super modern. Hampir semua sektor kehidupan dikawal oleh teknologi terbarukan (digital). Namun tetap saja cara konvensional memasarkan dijadikan strategi pengelola toko untuk menarik konsumen.
Menawarkan brosur ke konsumen atau mengacung-acungkan pamflet ditengah kerumunan, merupakan nikmat manusiawi.
Memang dapat digantikan oleh robot cerdas. Namun esensinya tetap tidak tergantikan. Tangan manusia menawarkan brosur yang memiliki emosi.
Suara manusia ditengah kerumunan yang memiliki spirit. Itulah harta manusia yang tiada tergantikan.
Ketika pandemi menerjang Indonesia dan muncul berbagai pembatasan yang tiada diketahui kapan berakhir, diramalkan dunia periklanan akan tiarap.
Ternyata ramalan itu hanya sebatas mitos. Justru selama 2020 belanja iklan nasional melejit sebesar Rp 229 triliun naik 26 persen dibanding 2019 yang meraup Rp 182 triliun.
Benar bahwa penempatan iklan untuk media digital (semua platform) naik tajam empat kali lipat selama 2020 dibanding 2019 (Nielsen, 22/4/2021).