Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Urgensi Bangun Food Estate untuk Hadapi Ancaman Krisis Pangan Saat Pandemi

Kompas.com - 23/07/2021, 06:46 WIB
Elsa Catriana,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pegiat lingkungan dari EcoNusa dan Pantau Gambut menilai respons pemerintah untuk menghadapi ancaman krisis pangan saat pandemi melalui program food estate belum tepat.

Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas menjelaskan, alasannya adalah karena program tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak serius pada lingkungan secara jangka panjang.

Menurut dia, tidak ada urgensi untuk program cetak sawah baru melalui food estate untuk merespons dampak pandemi.

Baca juga: Rawan Masalah, Pengusaha Makanan Minta Food Estate Terintegrasi dengan Industri

Sebab berdasarkan data Kementerian Pertanian, mencatat ketersediaan pangan masih aman, bahkan surplus sebesar 7,39 juta ton hingga akhir tahun 2020.

Lalu pada akhir Juni 2021, surplus beras tercatat ada sebanyak 10,28 juta ton dan di akhir Desember 2021, perkiraan surplus beras adalah sebanyak 9,62 juta ton.

"Permasalahan akibat pandemi adalah berkurangnya akses pada pangan, sehingga rantai suplai menjadi terganggu dari sisi produsen, pemasukan, transportasi, pabrik pengolahan, pengiriman dan lainnya. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian, bukan pada persoalan penambahan produksi,” ujar Iola saat diskusi webinar "Apakah Food Estate Efektif Menghadapi Ancaman Krisis Pangan Saat Pandemi?", Kamis (22/7/2021).

Iola juga mengkhawatirkan adanya Permen LHK No.24 tahun 2020 yang muncul setelah kegiatan food estate di Kalimantan Tengan dan Sumatera Utara berjalan yang justru dapat mengancam lingkungan.

Seperti yang tertulis pada Pasal 19 Permen LHK No.24 tahun 2020, bahwa kawasan hutan lindung boleh dibuka untuk dijadikan kawasan food estate.

Baca juga: Anggota DPR: Realisasi Anggaran Food Estate Jangan Tumpang Tindih

“Hal ini jelas bertentangan dengan UU No. 41 tahun 1999, Pasal 16 yang menyatakan pemanfaatan hutan lindung hanya sebatas pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Artinya penggunaan kawasan tidak boleh mengurangi fungsi utama kawasan itu sendiri,” tegas Iola.

Tak hanya itu, Iola juga berpendapat terkait rencana pemerintah untuk membuka cetak sawah di lahan eks-PLG (Pengembangan Lahan Gambut) di Kalimantan Tengah, sangat perlu dikaji ulang.

Sebab, kata dia, berdasarkan hasil analisis Pantau Gambut, menunjukkan bahwa area eks-PLG masih menjadi langganan kebakaran setiap tahunnya.

"Pada tahun 2019 saja, luasan areal terbakar di lahan eks-PLG mencapai 167.000 hektar dan tentunya akan menimbulkan permasalahan baru,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, Iola berharap Lembaga Ombudsman dapat mengkaji lebih dalam kebijakan food estate, terkait apakah ada manfaatnya pada ketahanan pangan dan bagaimana dampaknya pada lingkungan dan sosial akibat alih fungsi hutan dan gambut.

Baca juga: Pemerintah Diminta Evaluasi Total Program Food Estate

Hal senada juga disampaikan oleh pendiri dan CEO Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa Foundation) Bustar Maitar.

Dia ingin memastikan agar rencana pemerintah dalam mengembangkan produksi pangan tidak perlu merusak ekosistem.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com