Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Berencana Ganti PPnBM dengan PPN, Apa Bedanya?

Kompas.com - 23/07/2021, 20:26 WIB
Fika Nurul Ulya,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berencana menghapus pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dan mengganti atau meleburnya menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Rencana itu sudah tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

"PPnBM akan menjadi salah satu unsur DPP PPN," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Neilmaldrin Noor saat dihubungi Kompas.com, Jumat (23/7/2021).

Baca juga: Sandiaga Uno: Masyarakat Jangan Pilih-pilih Vaksin

Neil mengungkapkan, ada perbedaan mendasar yang membuat wacana penggantian PPnBM menjadi PPN masuk pembahasan bersama DPR.

Perbedaan pemungutan PPN dan PPnBM terletak pada jumlah pengenaannya di alur distribusi. PPN dikenakan di setiap rantai distribusi sedangkan PPnBM dikenakan sekali saja pada tingkat pabrikan atau impor.

Dengan skema baru, barang mewah berpotensi dikenakan pajak lebih tinggi mencapai 25 persen, sesuai rentang multitarif dalam RUU, yakni 15-25 persen.

Selisih penerimaan negara akibat peralihan skema pengenaan pajak terhadap kelompok BKP yang tergolong mewah terkompensasi jijka barang mewah dikenakan tarif PPN 25 persen.

"Tarif PPN untuk barang mewah sesuai RUU akan berada pada kisaran tarif 15 persen sampai 25 persen, yang akan dikenakan tergantung dari jenis barangnya. Sedangkan PPnBM dikenakan sekali pada rantai distribusi selanjutnya tidak ada lagi pengenaan PPnBM," tutur Neil.

Baca juga: BFI Finance Bukukan Laba Bersih Rp 487,4 Miliar Sepanjang Semester I 2021

Sementara dalam Naskah Akademik RUU KUP menyebutkan, implementasi perubahan skema PPnBM menjadi PPN yang lebih tinggi bakal diberlakukan melalui dua tahapan.

Tahap pertama, pengenaan tarif PPN yang lebih tinggi akan diberlakukan bagi kelompok BKP yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor dan kendaraan bermotor.

Tahap kedua, pengenaan tarif PPN yang lebih tinggi terhadap kelompok BKP yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor. Artinya, pada tahapan ini kendaraan bermotor tak lagi dibanderol PPnBM.

"Pengaturan barang yang dikenakan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP)," pungkas Neil.

Sebelumnya, wacana peleburan ini disinggung oleh Analis Kebijakan Ahli Madya PKPN Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Rustam Effendi. Rustam menjelaskan, mekanisme PPnBM yang ada saat ini mudah sekali dihindari oleh para wajib pajak.

Baca juga: Logonya Muncul di Poster Demo Jokowi End Game, Ini Penjelasan ShopeeFood

Dia pun memberi contoh kasus banjirnya impor ponsel sekitar 6 tahun lalu. Saat itu, pemerintah mencari cara untuk mengenakan pajak pada barang tersebut agar menekan laju impor.

Instrumen pajak seperti bea masuk tak bisa dikenakan lantaran ada perjanjian internasional bahwa ponsel masuk dalam daftar barang yang tidak bisa dikenakan bea masuk.

Sedangkan PPN kala itu menganut skema single tarif. Instrumen PPnBM pun tak bisa membantu.

"Kalau mau PPnBM, harus dicari threshold (nilai minimal agar barang dikenakan pajak). Ini sangat mudah dihindari. Pada waktu impor dinyatakan threshold PPnBM Rp 10 juta, harganya diturunkan di bawah 10 juta," sebutnya beberapa waktu lalu.

Baca juga: Kemenparekraf Gelar Vaksinasi Tanpa Surat Domisili, Ini Jadwal dan Lokasinya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Whats New
Libur Lebaran, Injourney Proyeksi Jumlah Penumpang Pesawat Capai 7,9 Juta Orang

Libur Lebaran, Injourney Proyeksi Jumlah Penumpang Pesawat Capai 7,9 Juta Orang

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com