Rasio utang Pemerintah Indonsia di akhir tahun 2020 tercatat 39,4 persen PDB, naik 9,4 percentage point (pp) dari tahun 2019. Angka ini lebih rendah dibandingkan negara peers seperti Filipina (47,07 persen, naik 10,10 pp), Malaysia (67,50 persen, naik 10,34 pp), Tiongkok (66,83 persen, naik 9,77 pp), dan Brazil (98,94 persen, naik 11,28 pp).
Bahkan jauh lebih rendah dari negara-negara maju yang menggelontorkan stimulus besar seperti Inggris (103,66 persen, naik 18,42 pp) dan Italia (155,56 persen, naik 21 pp).
Dari data tersebut, terlihat bahwa posisi utang Pemerintah relatif aman dan masih jauh dari ancaman kebangkrutan.
Pengelolaan fiskal Pemerintah dan pembiayaan utang di periode pandemi sendiri cukup diapresiasi lembaga pemeringkat kredit dengan dipertahankannya rating kredit sovereign Indonesia di level investment grade.
Ini menggambarkan persepsi positif pasar keuangan pada pengelolaan fiskal Pemerintah di tengah 124 pemangkasan rating tahun lalu dan maraknya permintaan restrukturisasi utang melalui skema Paris Club.
Capaian tersebut tidak terlepas pula dari manajemen portofolio utang Pemerintah dalam menjaga risiko utang selama ini, antara lain melalui debt switch atau menukar utang dengan suku bunga lebih rendah dan konversi pinjaman yang memperoleh suku bunga mendekati 0 persen.
Selain itu, Pemerintah bersinergi dengan otoritas moneter di masa pandemi, seperti melalui skema burden sharing dan Bank Indonesia sebagai standby buyer, yang mampu menekan biaya utang di tengah meningkatnya kebutuhan pembiayaan.
Baca juga: Sri Mulyani Jawab Kritik Lonjakan Utang Pemerintah Era Presiden Jokowi
Selama satu dekade ini utang Pemerintah dalam valuta asing juga dalam tren menurun dari 45,1 persen menjadi 32,0 persen yang menunjukkan makin berkurangnya risiko kurs utang.
Demikian juga porsi pinjaman luar negeri menurun dibandingkan obligasi negara selama sepuluh tahun terakhir dari 34 persen menjadi 13 persen.
Penurunan ini diikuti kepemilikan asing atas obligasi negara yang cukup rendah, menurun dari 38,6 persen di akhir 2019 menjadi 22,8 persen di akhir Mei 2021. Kondisi ini menunjukkan semakin meningkatnya kemandirian pembiayaan APBN.
Kekhawatiran beberapa pihak atas risiko utang tentu harus menjadi catatan Pemerintah agar tetap berhati-hati dan terukur dalam mengelola pembiayaan.
Pemerintah diharapkan terus mengupayakan agar belanja yang dibiayai oleh utang memiliki efek pengganda untuk mendorong pertumbuhan penerimaan melebihi kenaikan biaya utang.
Selain itu, manajemen portofolio utang yang kredibel perlu tetap dijaga agar risiko refinancing dan suku bunga makin terkendali. Upaya menekan biaya utang juga membutuhkan sinergi berkelanjutan antara otoritas fiskal dan moneter.
Tak kalah pentingnya, Pemerintah diharapkan melanjutkan program pendalaman pasar keuangan dan pengembangan basis investor domestik untuk mendapatkan sumber pembiayaan dengan biaya efisien.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.