Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cuma 20 Negara yang Lolos dari Middle Income Trap, Indonesia Kapan?

Kompas.com - 04/08/2021, 12:28 WIB
Fika Nurul Ulya,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia punya tantangan untuk keluar dari negara dengan pendapatan kelas menengah (middle income trap) menuju negara berpendapatan tinggi (high income country).

Jalan itu semakin sulit karena pandemi Covid-19.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, banyak negara yang sulit keluar dari fenomena middle income trap.

Baca juga: Sri Mulyani Perkirakan Anggaran Kesehatan Bisa Tembus Rp 300 Triliun Tahun Ini

Dari 190 negara di dunia, hanya kurang dari 20 di antaranya yang berhasil lolos.

"Indonesia saat ini adalah middle income country. Kita semua tahu di dalam pengalaman lebih dari 190 negara di dunia ini, mayoritas mereka berhenti di middle income. Artinya, ada fenomena yang disebut middle income trap. Ini adalah tantangan nyata kalau kita percaya sebagai makhluk yang melihat evidence base," kata Sri Mulyani dalam webinar CSIS di Jakarta, Rabu (4/8/2021).

Wanita yang akrab disapa Ani ini menjelaskan, Indonesia perlu mempelajari penyebab dari fenomena middle income trap agar tak terjebak di dalamnya.

Berdasarkan penelitian, salah satu hal yang paling mendasar dan menjadi penyebab terjadinya middle income trap adalah kualitas sumber daya manusia di negara tersebut.

Dengan kata lain, SDM berkualitas menjadi kunci utama untuk mengubah Indonesia jadi negara kelas atas.

Baca juga: Subsidi Kuota Internet Telat Cair, Sri Mulyani Ungkap Alasannya

"Negara yang mampu untuk menginvestasikan dan terus meningkatkan kualitas SDM adalah negara yang identik meningkatkan produktivitas inovasi dan ini adalah kunci naik untuk naik menjadi high income country," ucap Sri Mulyani.

Bicara tentang SDM, Sri Mulyani menyebutkan, tidak banyak negara yang berhasil menyelesaikan tantangan ini, meski semua sepakat bahwa SDM adalah faktor penting pembentuk pendapatan.

Untuk membuat SDM berkualitas, negara perlu memberikan hak pendidikan dan layanan kesehatan yang layak. Begitu juga dengan jaminan sosial yang membantu warga miskin mengakses dua aspek tersebut.

"Sehingga, kita tidak hanya bicara tentang 'what', apa yang perlu untuk pendidikan. Tapi 'how' menjadi equally important, yakni bagaimana membagi kewenangan, tanggung jawab, akuntabilitas, dan making sure bahwa seluruh resources dan policy bisa mencapai hasilnya," sebut dia.

Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah wajib mengalokasikan anggaran pendidikan sekitar 20 persen dalam APBN. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, anggaran untuk sektor ini sudah mencapai Rp 500 triliun.

Baca juga: Kabar Gembira, Sri Mulyani Bebaskan Pajak Sewa Toko di Pasar dan Mal hingga Oktober 2021

Anggaran tersebar di beberapa kementerian/lembaga (K/L) mulai dari Kemendikbud, Kemenag, lembaga penelitian, hingga pemda.

Namun, besarnya anggaran pendidikan bukan berarti mampu menyelesaikan semua masalah pendidikan di Tanah Air.

"Anggarannya banyak itu pasti dijamin menyelesaikan masalah, ternyata tidak. Maka, kita tentu perlu kerja sebagai suatu bangsa bagaimana caranya bahwa komitmen konstitusi 20 persen bisa diterjemahkan dalam bentuk kualitas pendidikan yang menghasilkan manusia produktif dan inovatif," pungkas Sri Mulyani.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com