Operator pelayaran internasional (main line operator) memang memiliki platform TI masing-masing sebagai upaya memudahkan proses bisnis korporasi. Di samping itu, dengan digitalisasi yang mereka jalankan diharapkan muncul revenue stream baru yang bisa memperkuat struktur keuangan perusahaan yang makin tertekan akibat perubahan lingkungan strategis. Tetapi, belakangan ada inisiatif untuk membuat semua platform ini saling bicara antara satu dengan yang lainnya melalui Tradelens.
Baca juga: Semester I 2021, Arus Barang di Pelabuhan Pelindo III Tumbuh 7 Persen
Tradelens adalah anjungan digital yang diinisiasi oleh IBM dan pelayaran Maersk di kota San Francisco, AS, pada Januari 2018. Sebagai inisiator, operator asal Denmark itu meniatkan kerja mereka untuk kemaslahatan bisnis pelayaran dunia. Ide perlunya platform itu selanjutnya dikembangkan lebih konkret oleh IBM dengan menggandeng GTD Solution Inc, sebuah perusahaan yang fokus dalam bidang digitalisasi sektor transportasi/logistik, anak usaha Maersk.
Niatan Maersk menjadikan Tradelens sebagai platform bersama bagi insan pelayaran disambut baik oleh raksasa pelayaran lainnya seperti CMA CGM (Perancis) dan Mediteranian Shipping Company/MSC (Swiss). Di lapangan, perusahaan-perusahaan ini sebetulnya berkompetisi ketat dalam sektor pelayaran peti kemas, khususnya antara Maersk dan MSC yang membentuk aliansi 2M dengan CMA CGM yang merupakan anggota Ocean Alliance.
Namun semangat untuk menjadikan bisnis pelayaran lebih trengginas membuat mereka mengenyampingkan kompetisi yang ada dan ikut terlibat dalam mengusung dan menyukseskan platform Tradelens.
Achievement-nya terbilang mengesankan. Saat ini sudah ratusan entitas bisnis terminal, perusahaan truk, pergudangan, dan lain sebagainya sudah bergabung ke dalam anjungan itu. Mereka berasal dari berbagai belahan dunia.
Ada kabar bahwa dari Indonesia yang ikut andil dalam orkestrasi internasional terkait sistem logistik di atas adalah entitas/perusahaan swasta, termasuk BUMN. Rasanya keterlibatan ini sudah pas karena platform itu diinisiasi oleh swasta yang bersifat business-to-business.
Bahwa ada otoritas/regulator di dalamnya tidak mengurangi kenyataan bahwa pebisnis dan perusahaannya menjadi sokoguru ekosistem yang ada. Dari platform yang ada di kita, pemerintah adalah sokogurunya; mulai dari inisiasi, sosialisasi sampai hal teknis ke-TI-an di tangani oleh mereka.
Sebetulnya tidak masalah pemerintah berperan dominan cuma kelemahannya adalah belum tentu pemerintah bisa memotret semua proses bisnis yang berjalan ke dalam ekosistem. Belum lagi dari aspek hardware yang digunakan yang seringnya low atau medium grade.
Situasi inilah yang terjadi ketika Customs Excise Information System and Automation (CEISA), bermasalah beberapa waktu lalu. “Mainannya” Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tersebut sebelumnya sudah beberapa mengalami masalah yang sama. Ada force majeure di sistem kata BC.
Bila nanti merger Pelindo dituntaskan di mana kapasitas perusahaan hasil merger membesar dua kali lipat – misalnya agregat throughput peti kemas akan mencapai 16,7 juta TEU – rasanya Pelindo hasil merger layak menjadi sokoguru ekosistem logistic nasional.
Mereka punya sumberdaya manusia yang baik, duit yang bisa membeli hardware dan software terbaik, dan yang paling penting, kelincahan sebagai entitas bisnis. Entahlah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.