KETIKA tulisan ini diselesaikan, otoritas Pelabuhan Ningbo-Zhousan di China, menutup terminal kontainer Meisan setelah salah seorang pekerjanya positif dijangkiti Covid-19. Fasilitas tersebut akan ditutup sampai keadaan kembali membaik sepenuhnya.
Hal itu merupakan langkah penutupan total pelabuhan/terminal kedua di Negeri Tirai Bambu. Sebelumnya, terminal Yantian di Pelabuhan Shenzen juga di-lockdown pada Juni lalu gara-gara wabah corona.
Operator terminal, Ningbo Zhousan Port Co Ltd, menutup operasional terminal karena pemerintah China menerapkan kebijakan “zero tolerance’ terhadap Covid-19. Itu artinya jika sebuah wilayah atau fasilitas publik terjangkiti, maka wilayah atau fasilitas bersangkutan akan ditutup sepenuhnya hingga pandemi dinyatakan tuntas tertangani.
Bahwa ada implikasi ekonomi serius dari langkah ini, tidak jadi masalah bagi pemerintah.
Pelabuhan Ningbo merupakan pelabuhan dengan throughput terbesar ketiga di dunia. Pada 2019, pelabuhan ini melayani 27,49 juta TEU (twenty foot equivalent unit) sementara pada 2020 naik 5 persen menjadi 28,72 TEU. Posisi pertama ditempati oleh Pelabuhan Shanghai dengan 42 juta TEU dan tempat kedua diduduki oleh Pelabuhan Singapura yang berkisar di antara 28-29 juta TEU.
Baca juga: Tarif Layanan Peti Kemas Pelabuhan Tanjung Priok Naik, Ini Alasannya
Penutupan terminal Meisan mendorong operator pelayaran kontainer mengalihkan operasional kapal mereka dari dan ke sana. Ambil contoh pelayaran Maersk. Dikabarkan, pelayaran asal Denmark tersebut akan mengalihkan sandar kapalnya yang selama ini merapat di terminal Meisan ke terminal-terminal lain yang ada di Ningbo. Pelayaran Jerman Hapag-Lloyd dikabarkan akan menempuh langkah yang sama pula.
Sepintas urusan geser-menggeser ini terlihat gampang. Padahal sesungguhnya hal ini tergolong rumit. Rumitnya itu seperti ini. Kapal-kapal peti kemas biasanya sandar di terminal secara reguler yang diikat dengan perjanjian dengan pengelola terminal. Atas kesepakatan ini pengelola terminal lalu membuka window bagi pelayaran kontainer. Bila ada kapal selain yang terikat kontrak dengan pengelola ingin sandar secara teori sulit dilayani.
Tetapi di dalam bisnis, termasuk bisnis pelabuhan/terminal, semuanya bisa diatur. Tidak ada harga mati. Kapal yang nyodok tadi tetap bisa dilayani namun dia harus membayar; biasanya harganya lebih mahal dibanding yang sandar reguler. Pada giliran selanjutnya, biaya ini dikompensasi oleh pelayaran peti kemas yang sandar dadakan di terminal peti kemas alternatif dalam bentuk surcharge kepada pemilik barang.
Biaya tak terduga tadi (kita terjemahkan saja surcharge) oleh pemilik barang akan dikompensasi lagi dengan harga jual yang mahal kepada konsumen. Karena ini fenomena aksi-reaksi, ada api ada asap maka situasi yang ada memicu pembengkakan biaya logistik secara keseluruhan.
Baca juga: Selama 2020, Arus Peti Kemas di Pelabuhan Kelolaan Pelindo III Capai 5,08 Juta TEUs
Di samping biaya yang naik, kongesti (congestion) juga tak terhindarkan disebabkan terminal peti kemas tiba-tiba dibanjiri kapal. Namanya juga nyodok. Tanpa kongesti yang akan terjadi di Pelabuhan Ningbo Zhousan pun sebetulnya pelayaran peti kemas sudah dan masih digelayuti masalah, yaitu kekurangan peti kemas dan kongesti itu sendiri. Keduanya silih berganti datangnya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.