Hasil perhitungan Kementerian ESDM mmenunjukkan bahwa PLN kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 5,7 triliun jika penerapan PLTS Atap mencapai target 3,6 GW. Hilangnya potensi pendapatan dikarenakan konsumsi listrik masyarakat dari PLN turun sehingga berakibat pada berkurangnya tagihan.
"Jadi misalkan sejak 2014 setiap bulan tagihan listriknya Rp 1,5 juta, lalu ingin efisiensi dengan pasang PLTS Atap sehingga bisa hemat Rp 500.000 tiap bulannya. Dana yang dihemat itu kan yang diterima sebelumnya oleh PLN. Jadi memang ada pengurangan pendapatan PLN," jelas Rida.
Kendati begitu, Rida bilang, ada sumber pendapatan baru yang bisa didapat PLN yakni penjualan karbon dan penerimaan listrik ekspor dari pengguna PLTS Atap dengan menggunakan tarif layanan khusus EBT. Total potensi pendapatan dari kedua lini itu berkisar Rp 1,12 triliun-Rp 1,54 triliun per tahun.
"Itu adalah potensi-potensi dari keberadaan PLTS Atap, di mana penerimaan ini akan semakin besar kalau kapasitas PLTS Atap-nya semakin besar," ucapnya.
Rinciannya, jika kapasitas PLTS Atap terpasang sebesar 3,6 GW maka dapat mengurangi total emisi karbon hingga 1,99 juta ton CO2. Dari total emisi itu, potensi penerimaan dari penjualan nilai karbon mencapai Rp 140 miliar per tahun.
Sementara penjualan sertifikat EBT atau Renewable Energy Certificate (REC) yang telah diluncurkan PLN sebelumnya, berpotensi menambah pendapatan perseroan sebesar Rp 19 miliar per tahun.
Baca juga: Aturan PLTS Atap Direvisi, Pelanggan Bisa Ekspor Listrik 100 Persen ke PLN
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.