Perkembangan yang pesat pada teknologi informasi dan komunikasi, telah merevolusi dan mendisrupsi aktivitas ekonomi yang sebelumnya.
Ada perusahaan lama yang bertransformasi dengan mengadopsi teknologi dalam proses bisnisnya, ada juga yang sejak awal pendirian sudah berbasis teknologi.
Perusahaan-perusahaan yang melakukan transformasi di atas disebut sebagai sektor New Economy.
Baca juga: Simak Strategi Investasi Reksa Dana untuk Milenial
Contoh perusahaan ecommerce yang sudah kita kenal seperti Bukalapak, Tokopedia, Blibli, Lazada Shopee, kemudian sektar terkait seperti Bank Digital, pergudangan dan transportasi yang mendukung transaksi di ecommerce, layanan kesehatan, wisata dan penjualan produk keuangan via 100 persen digital juga masuk dalam kategori tersebut.
Sebagian dari perusahaan di atas, sudah IPO sehingga sahamnya bisa dibeli seperti Bukalapak. Kemudian ada juga yang berencana IPO seperti Blibli, Traveloka, dan GoTo. Untuk sektor terkait seperti bank digital juga sama, ada yang sedang atau sudah mendapat izin sebagai bank digital, ada juga menyatakan diri akan bertransformasi ke arah tersebut.
Untuk perusahaan-perusahaan yang sudah IPO dan laporan keuangannya sudah bisa diakses oleh publik, kebanyakan masih rugi. Atau kalaupun untung, angkanya masih kecil dan terkadang kontribusinya bukan dari kegiatan operasional tapi dari yang sifatnya non operasional sehingga tidak diketahui apakah mampu dipertahankan atau tidak.
Sebagai contoh, per Juni 2021, Bukalapak (BUKA) masih merugi Rp 766 miliar. Bank Jago (ARTO) yang dikenal sebagai bank digital afiliasi dengan Gojek dan Tokopedia masih mencetak juga masih rugi Rp 46 miliar.
Secara fundamental atau kemampuan menghasilkan laba, jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan old economy yang sudah mapan seperti BBCA, BBRI, TLKM, BMRI, BBNI, GGRM, UNVR, ASII yang labanya sudah triliunan bahkan puluhan triliun per tahun rasanya seperti langit dan bumi.
Tapi tidak demikian untuk harga sahamnya. Dari awal tahun hingga 1 September 2021, harga saham ARTO telah naik 237,21 persen. Sementara 4 bank terbesar yang merupakan perwakilan Old Economy malah negatif.
BBCA -3,03 persen dengan Laba Semester 1-2021 Rp 14,5 triliun
BBRI -6,72 persen dengan Laba Semester 1-2021 Rp 12,54 triliun
BBNI -13,77 persen dengan Laba Semester 1-2021 Rp 5,03 triliun
BMRI - 5,14 persen dengan Laba Semester 1-2021 Rp 14,50 triliun
Bahkan kapitalisasi pasar yang dihitung berdasarkan harga saham x jumlah saham beredar, ARTO bernilai Rp 210 triliun lebih dari 2 kali lipat dibandingkan dengan BBNI yang bernilai “hanya” Rp 100 Triliun. Untuk saham bank lainnya sebagai berikut BBCA Rp 807 triliun, BBRI Rp 484 triliun, dan BMRI Rp 284 triliun.
Dalam konteks pengelolaan reksa dana, manajer investasi selaku pengelola dihadapkan pada pilihan. Apakah berinvestasi pada perusahaan Old Economy yang terbukti sudah mampu mencetak laba triliunan atau memilh perusahaan New Economy yang model bisnisnya masih belum terbukti tapi harga sahamnya naik berlipat-lipat?
Perlu dipahami, kinerja reksa dana TIDAK diukur berdasarkan seberapa besar laba yang dicetak perusahaan-perusahaan dalam portofolio investasinya. Tapi pada kenaikan atau penurunan HARGA sahamnya.
Secara sederhana, meskipun mencetak laba Rp 14.5 triliun, investor yang membeli saham BBCA dari awal tahun masih rugi 3 persen karena harga sahamnya turun. Sebaliknya meski masih perusahaannya masih rugi Rp 46 miliar, investor yang membeli ARTO dari awal tahun telah untung 237 persen.
Reksa dana sebagai pemegang saham, kinerjanya akan mengikuti HARGA saham bukan laba bersih yang dicetak perusahaan tersebut.