KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Menumbuhkan Sense of Belonging Karyawan Selama WFH

Kompas.com - 04/09/2021, 08:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUDAH lebih dari 1,5 tahun, kita menjalani kehidupan menjaga jarak dengan bekerja dari rumah atau work from home (WFH) bilamana memungkinkan. Hal ini membawa konsekuensi tertentu yang tidak kecil dampaknya.

Bayangkan, karyawan yang baru direkrut harus sendirian masuk ke dalam organisasi yang tidak kelihatan wujudnya. Ia langsung berkantor di komputernya, tidak bisa mencium atmosfer kantor, dan hubungan dengan teman sekantor pun sebatas penyelesaian tugas.

Jangankan karyawan baru, setelah sekian lama bekerja secara remote, karyawan lama pun bisa-bisa luntur perasaan belongingness-nya.

Padahal, Abraham Maslow, bapak motivasi kita, menekankan betapa pentingnya sense of belonging sebagai salah satu aspek yang sangat berpengaruh pada motivasi dan akan berdampak pula pada produktivitas kerja.

Sementara itu, saat ini kita sangat tergantung pada video call dan aktivitas layar komputer untuk tetap terhubung satu sama lain. Artinya, para profesional sumber daya manusia (SDM) dan jajaran manajemen perusahaan membutuhkan keterampilan khusus untuk mengelola sense of belongingness atau sense of community anak buahnya.

Riset membuktikan, perusahaan yang memiliki sense of belongingness tinggi ternyata dapat meningkatkan kinerja keuangan dan reputasi brand mereka. Sebanyak 56 persen karyawan pun setuju bahwa sense of belongingness dapat meningkatkan kinerja.

Dari segi neuroscience, sense of belongingness juga berpengaruh pada kesehatan mental individu secara keseluruhan. Sebuah rapat yang memiliki suasana menyenangkan akan merangsang hormon oksitosin peserta yang hadir.

Hormon tersebut sering disebut sebagai feel good hormone yang akan merangsang attachment, mengintensifkan hubungan interpersonal, meredakan stres, meningkatkan keterampilan sosial, dan mengkristalisasi memori-memori emosional. Oleh karena itu, penting bagi individu yang bekerja memiliki rasa senang dalam kehidupan sosialnya. Sebab, hal ini akan berkontribusi positif pada kinerja mereka.

Mengembangkan budaya “belonging” di tempat kerja "hybrid"

Menurut Viktor Frankl, manusia senantiasa berusaha mencari makna hidupnya. Hal ini dilakukan agar hidup terasa berarti. Ada tiga jalan yang dapat dilalui oleh manusia untuk menemukan makna hidupnya, yakni melalui pekerjaan, cinta, dan penderitaan.

Eileen Rachman.Dok. EXPERD Eileen Rachman.

Mereka yang dapat menemukan makna melalui pekerjaan tentu tidak akan segan untuk mengerahkan energi dan berbuat lebih dari yang diharapkan. Inilah sebabnya, setiap pemimpin perlu merancang kebijakan dan mengembangkan budaya perusahaan yang membuat para karyawan, apalagi pekerja generasi C (Covid), dapat memiliki kesempatan untuk menemukan makna dalam pekerjaannya, bukan sekadar bekerja demi mendapatkan gaji pada akhir bulan.

Budaya perusahaan bukan menghilang atau berhenti berevolusi dalam situasi bekerja hybrid. Namun, memang dibutuhkan usaha yang lebih besar untuk mewujudkannya. Ini mengingat kita tidak berada dalam ruang yang sama.

Meskipun kesempatan untuk memberi pengalaman kultural kepada para karyawan jadi terbatas, kita perlu percaya bahwa kultur tidak dibatasi empat dinding kantor saja. Kita dapat berfokus pada kebutuhan dasar individu, yaitu kesehatan, produktivitas, kreativitas, dan sosial.

Ada beberapa tantangan yang perlu dicapai bila ingin memperdalam belongingness karyawan pada masa WFH. Pertama, menanamkan kultur belonging tanpa ketegangan. Pada dasarnya, individu yang bekerja juga memiliki kebutuhan sosial. Namun, bila kebutuhan sosial kemudian menjadi penuh tuntutan, hal yang dirasakan para karyawan adalah keterpaksaan. Penanaman kultur harus dilakukan dalam suasana menyenangkan dan merangsang hormon oksitosin.

Kedua, meretensi elemen sosial dari pekerjaan. Kerja bukan hanya bertujuan pada produktivitas. Kerja juga merupakan salah satu alat yang cukup berarti untuk berhubungan satu sama lain, Hal ini bisa jadi merupakan pengalaman yang berharga sepanjang hidup karyawan.

Melalui pekerjaan, kita bertumbuh dengan bimbingan para mentor, baik secara formal maupun informal. Rekan-rekan di kantor—tempat kita menghabiskan lebih dari sepertiga waktu bersama dan bergadang bersama—bisa berkembang menjadi sahabat seumur hidup. Pasalnya, bersama merekalah, kita mengalami jatuh bangun dan berkembang bersama. Ini bisa menjadi alasan kita rindu pada suasana kantor kembali.

Gianpiero Petriglieri dari Insead menekankan bahwa keinginan untuk kembali ke kantor itu adalah gabungan antara social pressure dan social excitement. Ternyata, bertemu dengan kolega, sekaligus mengikuti aturan-aturan di kantor yang sebenarnya merupakan penekanan juga membawa rasa yang nyaman.

Di situlah tantangannya, bagaimana kita dapat memberikan rasa terhubung, bahkan membangun kemesraan sambil memberikan peran pada para karyawan untuk menjadi bagian penting dari evolusi kultur yang sedang terjadi.

Kita tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membentuk kebiasaannya sendiri. Sevirtual dan sedigital apa pun, kita tetap manusia yang menikmati hubungan dengan orang lain. People are longing for the connective tissue and social glue we once took for granted. Situasi ini perlu kita akomodasi.

Ketiga, percaya bahwa kultur perusahaan akan berevolusi. Di setiap organisasi, kultur perusahaan sangat dipengaruhi legacy. Ada sejarah perusahaan dengan pemimpin-pemimpin masa lalu yang gaungnya masih terasa di situasi sekarang. Godaan kita untuk berpegang pada masa lalu itu sangat kuat. Namun, dengan adanya disrupsi dan perubahan di tempat kerja, kultur perusahaan pasti berevolusi.

Kita memang belum tahu bentuk masa depan kehidupan kantor hybrid. Namun, kita perlu meyakini, sistem ini dapat berjalan dengan baik.

Mungkin kantor yang lebih menekankan kolaborasi, kreativitas, dan inovasi dapat menjadi katalis untuk merangsang pertemuan one on one, atau pertemuan di luar kantor untuk sekadar bersenang-senang. Kantor dibuat tidak sekadar menjadi tempat kerja, tetapi juga sebagai pusat komunitas, melakukan internal networking. Pada saat inilah akan terasa bahwa budaya perusahaan dapat berubah menjadi sesuatu yang lebih sosial dan personal.


Terkini Lainnya

komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com