PENERIMAAN pajak Indonesia pada 2021 ditargetkan Rp 1.229,6 triliun dan pada 2022 direncanakan Rp 1.262,9 triliun.
Realisasinya, sampai dengan Juli 2021, penerimaan perpajakan baru 52 persen atau Rp 647,7 triliun. Besar kemungkinan target kembali meleset seperti tahun-tahun sebelumnya (shortfall).
Banyak faktor menyebabkan penerimaan pajak selalu ”jauh panggang dari api”.
Faktor terbesar yang memengaruhi pencapaian penerimaan pajak dalam dua tahun terakhir tentu saja pandemi virus corona yang memicu krisis multidimensi (kesehatan, sosial, dan ekonomi).
Baca juga: Sri Mulyani: APBN Bekerja Luar Biasa Keras di Tengah Pandemi Covid-19
Namun, dengan atau tanpa krisis, shortfall pajak sebenarnya merupakan masalah klasik pengelolaan anggaran negara sejak puluhan tahun silam.
Pertumbuhan ekonomi dan kondisi perdagangan global biasanya menjadi indikator makro yang secara alamiah memengaruhi setoran pajak setiap negara.
Dalam kasus Indonesia, bangsa ini akan selalu dihadapkan pada persoalan rendahnya kepatuhan dan basis pajak.
Indikatornya, rasio penerimaan pajak (tax ratio) dan elastisitas penerimaan pajak (tax bouyancy ) yang bukannya membaik malah cenderung menurun dalam satu dekade terakhir.
Fenomena ini menunjukkan bahwa elastisitas dan sensitifitas penerimaan pajak terhadap kondisi perekonomian semakin berkurang.
Baca juga: DJP: Reformasi Perpajakan Dilakukan untuk Capai Rasio Pajak 14,4 Persen dari PDB
Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP), bukan berarti tanpa upaya mengatasi berbagai persoalan tersebut. Serangkaian reformasi pajak yang berjilid-jilid adalah bukti bahwa pemerintah tidak tinggal diam.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.