Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Diminta Tak Paksakan Energi Terbarukan, Apa Alasannya?

Kompas.com - 11/09/2021, 20:19 WIB
Yohana Artha Uly,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah diminta untuk tidak memaksakan penerapan energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi energi primer. Indonesia dinilai belum mampu menerapkan karena adanya potensi membebani negara bila bauran EBT dipaksakan.

Seperti informasi, pemerintah tengah mengejar target 23 persen bauran EBT pada 2025 dengan mempersiapkan dua payung hukum, yakni Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) dan revisi Permen ESDM Nomor 49/2018 terkait Penggunaan Sistem PLTS Atap.

Peneliti Institute of Development and Economics Finance (Indef) Abra Tallatov menilai, proyek EBT akan berpengaruh besar pada fiskal karena negara akan menanggung beban besar untuk listrik dari sumber itu. Padahal pemerintah saat ini tengah menghadapi normalisasi defisit fiskal akibat pandemi Covid-19.

Baca juga: PLTS Akan Jadi Tulang Punggung Pengembangan EBT

Pada tahun depan defisit fiskal memang masih diperbolehkan lebih dari 3 persen, namun mulai 2024 defisit fiskal harus kembali di bawah 3 persen. Di sisi lain, APBN juga menghadapi beban tambahan sebagai dampak dari berlarutnya pandemi Covid-19.

Pembahasan RAPBN tahun depan saja, lanjutnya, pemerintah dan DPR telah berdebat panas mengenai realokasi anggaran mana saja yang dianggap mendesak sekaligus anggaran untuk bantalan sosial.

“Tentu ini akan menjadi perdebatan serius juga ke depan, artinya nanti akan ada pos-pos belanja lain yang harus dikorbankan dan dialihkan untuk menutup anggaran pengembangan EBT ini," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (11/9/2021).

Di sisi lain, ia menilai, draf RUU EBT yang tengah disusun kental dengan adanya intervensi pemerintah untuk mendorong transisi energi, padahal penting untuk melibatkan swasta dalam transisi untuk berbagi beban. Abra bilang, hal itu yang perlu lebih dielaborasi dalam RUU EBT.

Ia mengingatkan, jangan sampai dengan gencarnya penerapan EBT malah akan menjadikan Indonesia sebagai pasar. Sebab, mengingat untuk saat ini saja, dengan rendahnya tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada green infrastructur telah membuat Indonesia telah menjadi target pasar.

“Kita bisa menyimpulkan bahwa untuk saat ini, yang diuntungkan memang negara-negara produsen, penghasil teknologi dan infrastruktur dari sumber energi terbarukan. Nah kita menjadi objek atau menjadi pasar,” katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, transisi energi memang memiliki tujuan yang positif, sudah menjadi komitmen pemerintah dan ditetapkan di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), serta telah diratifikasi pada Paris Agreement.

Hal ini menunjukan bahwa pengembangan sektor energi terbarukan memang sudah menjadi bagian dari komitmen bersama. Namun, ia mengingatkan adanya risiko fiskal dan potensi terganggunya keuangan PT PLN (Persero) dalam dua beleid terkait EBT yang sedang dipersiapkan pemerintah itu.

Lantaran pada salah satu pasal di RUU EBT, PLN diwajibkan membeli atau menyerap listrik yang dihasilkan dari pembangkit-pembangkit energi terbarukan. Selain itu, anggaran negara akan kian terbebani karena salah satu pasal pada beleid itu menyebutkan bahwa negara akan membayar kelebihan selisih biaya pokok produksi listrik dan harga jual dari energi terbarukan.

Kemudian pada revisi Permen ESDM 49/2018 akan diatur bahwa PLN dikenai skema tarif ekspor-impor net-metering listrik sebesar 1:1 atau 100 persen. Artinya, tidak ada selisih tarif yang akan menjadi sumber pendapatan PLN di saat menerima, menyimpan, maupun menyalurkan kembali listrik dari PLTS Atap milik konsumen.

Alhasil PLN berpotensi merugi karena di saat yang sama harus mengeluarkan biaya investasi untuk penyimpanan listrik, jaringan distribusi, hingga sumber daya manusia.

Oleh karena itu, Komaidi menekankan, perlunya koordinasi antara kementerian teknis serta Kementerian Keuangan yang mengatur soal anggaran negara dalam menyusun aturan mengenai EBT.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Astra Infra Group Bakal Diskon Tarif Tol Saat Lebaran 2024, Ini Bocoran Rutenya

Astra Infra Group Bakal Diskon Tarif Tol Saat Lebaran 2024, Ini Bocoran Rutenya

Whats New
Dampak Korupsi BUMN PT Timah: Alam Rusak, Negara Rugi Ratusan Triliun

Dampak Korupsi BUMN PT Timah: Alam Rusak, Negara Rugi Ratusan Triliun

Whats New
Cek, Ini Daftar Lowongan Kerja BUMN 2024 yang Masih Tersedia

Cek, Ini Daftar Lowongan Kerja BUMN 2024 yang Masih Tersedia

Whats New
Rincian Harga Emas Hari Ini di Pegadaian 29 Maret 2024

Rincian Harga Emas Hari Ini di Pegadaian 29 Maret 2024

Spend Smart
Kecelakaan Beruntun di GT Halim Diduga gara-gara Truk ODOL, Kemenhub Tunggu Investigasi KNKT

Kecelakaan Beruntun di GT Halim Diduga gara-gara Truk ODOL, Kemenhub Tunggu Investigasi KNKT

Whats New
Indef: Banjir Barang Impor Harga Murah Bukan Karena TikTok Shop, tapi...

Indef: Banjir Barang Impor Harga Murah Bukan Karena TikTok Shop, tapi...

Whats New
Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

Whats New
Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com