Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tolak PPN Sembako, Peneliti: Potensinya Kecil Banget

Kompas.com - 14/09/2021, 12:01 WIB
Fika Nurul Ulya,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, potensi penerimaan pajak dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang dan jasa kena pajak tertentu sangat kecil.

Peneliti Center of Food, Energy, dan Sustainable Development Indef, Rusli Abdullah mengatakan, potensi penerimaan pajak akan lebih besar bila pemerintah mengejar potensi PPh dari badan usaha yang belum dikenakan pajak.

Berdasarkan perhitungannya, pengenaan PPN pada barang kebutuhan pokok atau sembako hanya menyumbang 1,97 persen dari total penerimaan pajak.

Baca juga: Asosiasi Peritel Tolak PPN Sembako, Ini Alasannya

"PPN sembako hanya menyumbang 1,97 persen dari total penerimaan pajak 2020. Angka ini kalau seandainya (PPN) mau dinaikkan, (potensinya) kecil banget. Masih lebih besar kalau bersumber dari PPh badan, beberapa usaha menengah belum formal bisa diambil dari sana untuk meningkatkan tax ratio," kata Rusli dalam Diskusi Publik Indef secara virtual, Selasa (14/9/2021).

Jika mengacu pada total penerimaan pajak tahun 2020, PPN sembako hanya berpotensi mendongkrak penerimaan sekitar Rp 21,1 triliun.

Angka tersebut didapat dari pengeluaran per kapita masyarakat Rp 268.184 per bulan dikali 12 bulan menjadi sebesar Rp 3,21 juta.

Angka itu kemudian dikali dengan asumsi jumlah keluarga sebanyak 65,58 juta, sehingga total pengeluaran menjadi Rp 211 triliun.

Jika dikurangi 10 persen untuk tarif PPN, maka penerimaan PPN yang diterima pemerintah Rp 21,1 triliun.

Baca juga: FIFGroup Telah Salurkan Bantuan Sembako Senilai Rp 23,8 Miliar Selama Pandemi Covid-19

"Tahun 2020 potensi PPN sembako Rp 21,1 triliun, lebih besar dari tahun 2019 sebesar Rp 16,8 triliun. (Potensi penerimaan) Cuma Rp 21 triliun (jika) PPN sembako (diberlakukan," ucap Rusli.

Pemungutannya pun menemukan beragam tantangan. Tantangan yang pertama adalah masih besarnya sektor usaha informal di Indonesia sehingga pengenaan pajak menjadi kurang maksimal.

Kemudian, SDM pajak di Indonesia masih terbatas. Fiskus hanya mencapai 45.000 dari total penduduk 270 juta. Jumlah fiskus ini dua kali lipat lebih kecil dari Jepang, padahal jumlah penduduknya hanya 126 juta orang.

"Masih banyak tenaga kerja informal. Seorang pedagang bakso bukan kategori UMKM omzet 1 bulan bisa Rp 1 miliar, itu bisa disasar oleh pemerintah. Tapi belum terdaftar sebagai wajib pajak makanya jadi sulit. Wacananya juga kurang tepat di tengah pandemi," pungkas Rusli.

Sebagai informasi, pemerintah menggodok aturan mengenai pemungutan PPN pada sembako dan jasa tertentu melalui RUU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Baca juga: Cek Bansos Kartu Sembako, PKH, dan BST di cekbansos.kemensos.go.id

Dijelaskan dalam RUU, perubahan skema tarif PPN berguna untuk mengatur perluasan basis pajak PPN agar lebih mencerminkan keadilan dan ketepatan sasaran.

Kebijakan tarif PPN akan dilaksanakan melalui seluruh barang dan jasa yang dikenai PPN kecuali barang dan jasa yang sudah menjadi objek PDRB seperti restoran, hotel, jasa parkir, dan hiburan.

Begitu pun emas batangan untuk cadangan devisa negara dan surat berharga, jasa pemerintah umum yang tidak dapat disediakan pihak lain, serta jasa penceramah keagamaan.

RUU juga menyebutkan perubahan tarif umum PPN dari 10 persen menjadi 12 persen, dan adanya range tarif PPN dari 5 persen sampai 25 persen.

Secara garis besar, RUU KUP bakal mengubah 15 pasal, dengan rincian perubahan 7 pasal dalam UU Pajak Penghasilan, perubahan 7 pasal dalam UU PPN dan PPnBM, dan 1 pasal dalan UU Cukai. Pemerintah juga menambah 1 pasal mengenai pajak karbon.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com