Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute

Pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), sebuah lembaga pengkajian kemaritiman independen. Acap menulis di media seputar isu pelabuhan, pelayaran, kepelautan, keamanan maritim dan sejenisnya.

Menyoal Pelabuhan Patimban (Lagi)

Kompas.com - 15/09/2021, 14:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAYA sudah menulis seputar Pelabuhan Patimban beberapa kali di media massa. Ini di luar pernyataan-pernyataan atau statement terkait isu yang sama yang diminta oleh teman-teman wartawan. Saya rasa itu semua cukup. Dan, saya berniat akan menulis hal-hal lain saja.

Lalu, muncullah berita di media perihal keberangkatan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi ke Negeri Matahari Terbit yang salah satu agendanya adalah percepatan komitmen negeri itu di pelabuhan tersebut. Mendadak saya jadi baper dibuatnya. Maka terangkailah karangan ini.

Perjalanan sang menteri ke Jepang sebenarnya sah-sah saja. Permintaannya yang rada-rada. Kok bisa? Ya, bisalah. Dari sisi government-to-government (G-to-G), pengembangan Pelabuhan Patimban sudah selesai aspek legal dan hal terkait lainnya ketika kesepakatan pinjaman antara Jepang dan Indonesia ditandatangani pada 2016.

Baca juga: Kunjungan Menhub ke Jepang, Bahas Proyek MRT hingga Pelabuhan Patimban

Sekadar mengingatkan, perjanjian ini ditandatangani kala Menteri Perhubungan dijabat oleh Ignasius Jonan. Pembangunan pelabuhan itu membutuhkan dana sekitar Rp 40 triliun agar mencapai kapasitas idealnya: 7,5 juta twenty fot equivalent unit peti kemas dan 250.000 unit kendaraan setiap tahunnya.

Untuk membangun hingga selesai, diperlukan beberapa tahap pengerjaan proyek dan apa-apa yang saat ini ada di Pelabuhan Patimban hari ini merupakan bagian dari tahap I. Dalam tahap I ini ada dua fase. Adapun fase 1 mencakup pembangunan dermaga terminal kendaraan sepanjang 300 meter dan terminal peti kemas dengan dimensi 420x35 meter.

Dibangun juga dalam fase ini breakwater, seawall, revetment, backup area, jalan akses dan jembatan penghubung ke terminal. Total biaya untuk semuanya mencapai Rp 17,2 triliun yang Rp 14,2 triliun di antaranya merupakan pinjaman dari Negeri Sakura.

Yang rada-rada itu maksudnya begini. Fasilitas yang disebutkan di muka sebetulnya sudah dikonsesikan kepada PT Pelabuhan Patimban Internasional oleh Kementerian Perhubungan. Artinya, aspek teknis operasional pelabuhan/terminal sudah menjadi tanggung jawab perusahaan hasil bentukan konsorsium CT Corp yang memenangkan lelang pelabuhan itu.

Tidak perlu seorang menteri untuk meminta korporasi Jepang agar segera melayani pengguna pelabuhan bersama dengan PPI. Ini urusan business-to-business, bukan lagi urusan G-to-G. Bila Menhub minta komitmen (pemerintah) Jepang untuk terus memberikan pinjaman bagi kelanjutan tahap-tahap pembangunan Pelabuhan Patimban, it’s OK.

Perihal keberadaan operator Pelabuhan Patimban itu memang menjadi isu yang menarik bagi komunitas kemaritiman. Sejak awal penunjukannya, ketika itu masih berbentuk konsorsium CT Corp, aroma politis terasa menguar begitu kencang.

Figur-figur besar dalam jagat bisnis – juga perpolitikan – nasional seperti Chairul Tanjung dan Wahyu Sakti Trenggono yang berada berada di balik konsorsium dimaksud berperan amat sentral dalam proses lelang. Mereka akhirnya dimenangkan sementara pesaingnya, konsorsium Samudera Indonesia, kalah. Padahal, dari sisi kekuatan modal keduanya boleh dibilang setara.

Dari keputusan untuk memenangkan konsorsium CT Corp dukungan terus diberikan oleh Kemenhub. Kali ini kepada “anaknya”, yaitu PT Pelabuhan Patimban Internasional (PPI). Bisa jadi ceritanya jauh berbeda jika yang memenangkan lelang waktu itu adalah konsorsium Samudera Indonesia. Entahlah.

Selain "me-marketing-kan " operator tersebut ke publik Jepang oleh Menhub BKS, dukungan "khusus" juga diberikan di dalam negeri oleh jajaran Kemenhub, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

Misalnya, tidak lama setelah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo Desember 2020, Ditjen Hubla mengimbau perusahaan otomotif yang selama ini mengirimkan produknya – ekspor maupun antarpulau – melalui terminal kendaraan Pelabuhan Tanjung Priok agar mengalihkan pengapalannya dari dan ke Pelabuhan Patimban.

Yang terkena oleh kebijakan itu adalah operator pelayaran kendaraan (car carrier) yang melayani pabrikan otomotif yang sebagian besar merupakan perusahaan pelayaran Jepang maupun afiliasinya.

Baca juga: Sah, Perusahaan Bentukan Konsorsium CT Operasikan Pelabuhan Patimban

Perusahaan pelayaran domestik seperti ASDP dan Pelni juga diimbau agar mengalihkan rutenya. Tanpa berpanjang lebar, kedua perusahaan sudah mengalihkan kapal-kapal mereka ke Pelabuhan Patimban dan melayari beberapa rute tertentu seperti Panjang dan Pontianak (ASDP) dan KM Gunung Dempo (Pelni).

Car carrier masih belum memperlihatkan tanda-tanda akan mengikuti imbauan Ditjen Hubla agar memindahkan operasi kapalnya ke Pelabuhan Patimban. Karenanya, aturan khusus untuk memaksa mereka pindah ke pelabuhan tersebut sudah dikeluarkan dan harus dijalankan Oktober nanti.

Sepertinya akan ada tindakan jika aturan dimaksud tidak diindahkan. Inilah alasan lain yang buat saya baper.

Bagaimana tidak baper. Dengan perintah pindah, khususnya bagi operator car carrier, pemerintah sejatinya sudah melakukan praktik usaha yang tidak sehat dalam bentuk pemberian perlakuan khusus kepada badan usaha swasta (baca: PPI).

Baca juga: Konsorsium CT Corp Lolos Prakualifikasi Pengelola Patimban, Ada Unsur Politis?

Terhadap BUMN perintah ini bisa jadi tidak masalah. Namun bagi perusahaan swasta perintah jelas akan mengganggu mekanisme pasar yang telah berjalan antara mereka dan kliennya selama ini.

Kita tahu pengangkutan otomotif terikat perjanjian/kontrak. Car carrier terikat kontrak dengan pabrikan. Car carrier juga terikat kontrak dengan pengelola terminal kendaraan. Ada sejumlah kewajiban dan hak di antara para pihak itu. Ada pula harga atas jasa-jasa yang disediakan oleh mereka.

Lalu, atas nama proyek strategis nasional, kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) atau apapun istilahnya, semuanya itu harus diakhiri.

Apakah Kemenhub sudah memikirkan dampak atas kebijakannya tersebut bagi car carrier dan terminal kendaraan yang selama ini melayani mereka?

Dengan pindah ke Pelabuhan Patimban, kapal-kapal pengangkut kendaraan harus menempuh jarak yang lebih jauh, sekitar 40 mil laut dari Pelabuhan Tanjung Priok.

Kapal-kapal ini harus bernavigasi di perairan yang kedalamannya relatif terbatas sementara ukuran mereka terhitung jumbo. Bagaimana kalau nyangsrang di gundukan lumpur yang amat cepat memenuhi alur Pelabuhan Patimban?

Itu baru sedikit pertanyaan terkait aspek operasional kapal dan kondisi fisik pelabuhan. Masih ada pertanyaan lainnya tentu saja. Lantas, dari sisi bisnis puluhan pertanyaan pun bisa diajukan.

Bila diperas pertanyaan-pertanyaan itu, intinya ada dua: apakah sandar di Pelabuhan Patimban betul-betul menguntungkan bagi pelayaran dibanding sandar di Pelabuhan Tanjung Priok? Bila iya, apakah itu sustainable?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com