"KUALITAS Produk adalah Prioritas Utama Kami". Slogan seperti ini banyak digunakan oleh perusahaan di Indonesia.
Klise. Namun, salah satu misi agung suatu perusahaan memang memastikan produknya memiliki kualitas terbaik.
Tidak ada yang salah juga dengan slogan tadi. Namun, apakah semata fokus pada produk masih relevan di era ini?
Jawaban singkatnya: tidak.
Pendekatan semata produk-sentris semakin tidak relevan karena kompetisi yang makin ramai.
Jika sebuah perusahaan hanya fokus pada produk dan melupakan konsumen maka kemungkinan ia jadi "dinosaurus" akan sangat besar.
Di antara semua jenis perusahaan, industri yang cenderung paling produk-sentris adalah ritel.
Belakangan, banyak perusahaan ritel yang pontang-panting karena penurunan penjualan dan penutupan toko. Ini karena memang industri ritel juga yang paling mengagungkan produk.
Selewat, kita bisa menyalahkan pandemi. Kita pun bisa bilang bahwa tren ekonomi yang menurun menyebabkan konsumen enggan berbelanja.
Namun, penjualan yang menurun dan penutupan toko sudah terjadi jauh sebelum pandemi terjadi.
Baca juga: Pengusaha Mal: Ritel Online seperti Anak Emas, Offline Anak Tiri
Pandemi hanya memberi tambahan dorongan bahwa industri ritel memang sudah berjalan pelan menuju jurang.
Lantas, apa akar masalahnya?
Jawabannya: internet. Konsumen—Anda, saya, kita—akhirnya merasakan betapa nikmatnya berbelanja sambil rebahan.
Tidak hanya itu, internet juga memberi konsumen pengaruh yang besar untuk mengambil keputusan.
Riset kami mendapati bahwa ada empat jenis konsumen, termasuk di dalamnya adalah mereka yang belanja sepenuhnya online atau yang belanja jika sedang ada diskon saja.
Untuk saat ini konsumen masih bergantian antara belanja offline dan online. Namun, bukan mustahil bahwa suatu saat nanti konsumen rebahan yang sepenuhnya belanja online akan mendominasi pasar.
Perubahan perilaku berbelanja dari offline ke online membuat industri ritel harus berpikir ulang. Tak cukup lagi hanya memikirkan cara menjual produk yang berkualitas, mereka juga harus menemukan cara membuat konsumen puas secara menyeluruh.
Baca juga: Curhat Pengusaha: Setiap Hari, 2 Toko Ritel Bangkrut Karena Corona
Tanpa upaya perumusan ulang strategi ini, kiamat ritel bisa saja benar-benar jadi kenyataan masa depan.
Untuk mencegahnya, langkah pertama yang bisa dilakukan sesegera mungkin adalah mengenali dan memetakan konsumen.
Riset kami terhadap 1.032 responden di Jabodetabek mendapati, konsumen ritel dapat dikelompokkan menjadi empat.
Apa sajakah itu? Bagaimana juga mereka mendefinisikan dirinya? Apa insight yang bisa dipelajari pula?
Jika sedang bosan, saya akan belanja. Kalau sedang "jalan" dengan keluarga atau teman, saya akan belanja.
Belanja buat saya itu seperti terapi, karena saya senang ketika sedang belanja.
Insight:
Konsumen bebas adalah jenis konsumen yang menganggap belanja sebagai sebuah experience atau pengalaman.
Jika konsumen "biasa" berbelanja untuk kebutuhan, konsumen bebas merasa bahwa belanja adalah sebuah "me time" atau terapi kebahagiaan.
Konsumen jenis ini cukup unik karena yang mereka cari adalah produk, jasa, atau tempat yang punya keunikan, jarang, dan sulit direplikasi oleh banyak merek.
Dari itu, mereka jarang ditemukan di minimarket. Mereka banyak bergumul di pusat perbelanjaan elite atau toko online yang menyediakan layanan dan produk untuk mereka yang punya privilese (privilege).
Insight:
Bertolak belakang dengan konsumen bebas, konsumen efektif menganggap bahwa belanja adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Titik.
Mereka punya filosofi datang, beli, pulang. Ketika berbelanja di supermarket atau minimarket, mereka sudah tahu apa yang harus dibeli.
Tidak ada waktu terbuang sia-sia. Semua serba efektif dan efisien.
Para konsumen efektif merasa bahwa waktu sangat berharga. Jika semua barang bisa dibeli secara online maka mereka akan lebih memilih belanja online.
Tidak hanya itu, mereka juga tidak suka menyimpan terlalu banyak barang di rumah. Mereka belanja bukan untuk memenuhi ego melainkan lebih kepada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Konsumen jenis ini banyak ditemukan di toko online dan sering menggunakan jasa ojek online untuk berbelanja. Mereka baru akan berbelanja secara offline jika benar-benar diperlukan.
Hanya saja, kelompok ini sangat memperhitungkan harga dan kemampuannya untuk membeli.
Mereka cenderung belanja ke tempat atau produk dengan harga termurah. Mereka juga rutin mencari diskon dan promosi.
Para konsumen eknomis akan merasa bangga jika menemukan produk dan tempat dengan harga termurah.
Mereka juga sangat tidak loyal pada merek. Selama fungsinya sama dan harganya murah, mereka akan memilih merek tersebut.
Mereka banyak ditemukan di toko online selama momen harbolnas dan grup atau forum online pencari diskon dan promosi.
Keputusan mereka belanja online atau offline akan sangat bergantung pada diskon dan harga yang diberikan.
Saya merasa kalau belanja itu lebih menyenangkan kalau dilakukan bersama-sama. Karena momen belanja itu buat saya sama dengan rekreasi.
Insight:
Konsumen jenis ini cukup unik karena ada faktor pertimbangan keluarga.
Keluarga sangat berperan penting bagi mereka dalam pembelian dan pengambilan berbagai keputusan. Keputusan diambil tidak secara individu tetapi secara kolektif sebagai keluarga.
Mirip dengan konsumen bebas, mereka menganggap belanja adalah kegiatan rekreasi. Hanya saja, harus ada pertimbangan keluarga dalam penentuannya.
Karena fokus pada keluarga sangat kuat, mereka juga melibatkan anak-anak dalam pembelian produk. Mereka pun memperlakukan belanja sebagai sebuah permainan sehingga proses belanja tidak membosankan.
Konsumen keluarga banyak ditemukan di supermarket dan mal untuk belanja kebutuhan primer dan minimarket untuk belanja kebutuhan non-primer.
Dari riset yang kami lakukan, industri ritel seharusnya bisa mulai melakukan pemetaan konsumen secara menyeluruh. Ini bertujuan mencari strategi yang tepat untuk pemasaran dan komunikasi ke konsumen.
Karena sebagian besar konsumen mulai terbiasa dengan berbagai ekosistem belanja online, transformasi digital pun harus sangat dipertimbangkan.
Baca juga: Permintaan Ruang Ritel di Jakarta Turun Selama Semester I-2021
Perubahan pola penjualan dari product-oriented menjadi consumer-oriented butuh strategi baru ini demi memenangkan hati konsumen. Dengan perubahan di sisi konsumen, mereka juga tak lagi menjadi objek bisnis tapi penentu nilai produk dan brand.
Memenangkan hati konsumen pun tak cukup lagi di tataran persepsi. Kepuasan konsumen terhadap seluruh proses pembelian berpotensi besar mendorong mereka melanjutkan interaksi bahkan merekomendasikannya ke orang lain.
Sebaliknya, ketidakpuasan konsumen terhadap proses pembelian yang dijalaninya dapat menjadi peluru panas yang mampu mencederai brand. Cukup beredar pengalaman tak memuaskan itu di media sosial, misalnya, kerusakan bagi brand bisa seketika terjadi.
Karena itu, masa depan industri ritel bisa jadi akan ditentukan pada kemampuan mengenali dan memberikan kepuasan kepada konsumen. Ini tidak lagi semata tentang kualitas produk tetapi juga untuk keseluruhan proses produk hingga ke tangan konsumen.
Kenali jenis konsumen, identifikasi kebutuhan konsumen, dan cermati pengalaman konsumen saat membeli produk. Mempelajari pola, skema, dan pengalaman belanja konsumen akan jadi kunci bagi sukses dan tidaknya strategi industri ritel di era disrupsi digital.
Unduh riset selengkapnya di sini.
Naskah: TIM STRATX, KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.