Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Holib dan Kelompok Usahanya, Budidaya Ulat Sutra di Tengah Derasnya Impor Benang

Kompas.com - 18/09/2021, 07:58 WIB
Rully R. Ramli,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pasokan benang sutra untuk industri tekstil nasional sampai saat ini masih didominasi oleh impor dari sejumlah negara. Bahkan, 95 persen kebutuhan benang untuk industri dalam negeri dipasok dari luar negeri.

Tingginya angka impor benang sutra disebabkan oleh pasokan benang sutra lokal masih belum bisa memenuhi industri dalam negeri. Pasalnya, memang tidak mudah untuk memproduksi benang sutra.

Meskipun sulit, Kelompok Usaha Tenun Sutera Alam Mardian Putera yang berlokasi di Kampung Karanganyar, Desa Cipondok, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya tetap berupaya untuk membudidayakan ulat sutra.

Baca juga: Mengecap Manisnya Budidaya Lebah Madu di Halaman Rumah

Ketua Kelompok Usaha Tenun Sutera Alam Mardian Putera, Holib, mengatakan letak geografis dan geologis Tasikmalaya sangat sesuai untuk dilakukan budidaya ulat sutra.

Oleh karenanya kelompok usaha itu telah mulai melakukan budidaya ulat sutra di lahan seluas 3 hektar.

“Dan Alhamdulillah dari apa yang kami lakukan hampir satu tahun belakangan ini, setidaknya kami sudah memiliki kemandirian untuk menghasilkan benang sutra produk kami sendiri,” kata Holib dalam keterangan resmi Pertamina Geothermal Energy, Jumat (17/9/2021).

Holib mengakui, memang tidak mudah dalam melakukan budidaya ulat sutra, meski hasilnya sangat menjanjikan.

Misal, ada sekitar 25.000 butir telur dalam satu boks paket pemeliharaan ulat sutra. Dalam satu boks bisa menghasilkan sekitar 38-40 kg kokon (kepompong) ulat sutra dengan kebutuhan pakan sekitar 600 - 850 kg daun murbei.

“Kokon ini yang kemudian akan diambil seratnya untuk dijadikan benang sutra oleh industri,” ujar Holib.

“Satu kilogram kokon sendiri di pasaran berkisar harga Rp 50.000-Rp 70.000,” tambahnya.

Baca juga: Dulu Lahan Rawan Kebakaran, Kini Jadi Pertanian Nanas yang Bawa Cuan

Holib bilang, siklus budidaya ulat sutra itu sendiri tidaklah panjang. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 27-30 hari terhitung sejak awal pemeliharaan hingga panen dengan modal awal Rp 400.000 untuk satu kali siklus budidaya.

“Dalam setahun bisa dilakukan 8-10 kali pemeliharaan,” katanya.

Lebih jauh Holib menuturkan, dalam satu kali siklus pemeliharaan, omzet yang bisa diperoleh petani sekitar Rp 2 juta. Pendapatan total ini akan jauh lebih besar dengan memperhitungkan panen dari komoditas lain yang dihasilkan di areal tumpang sari.

Kata Holib, tantangan terbesar dalam budidaya ulat sutra adalah ketelatenan dari petani itu sendiri. Sebab, ulat sutra butuh banyak makan sebelum melakukan proses metamorfosis menjadi kepompong.

Baca juga: Pemerintah Jamin Aset Negara Masih Lebih Besar daripada Utang

Ulat sutra kecil tidak tahan terhadap bau-bauan, misalnya bau rokok dan parfum. Sehingga orang atau pekerja yang masuk kandang tidak boleh mengandung aroma tersebut,” tuturnya.

Untuk memenuhi pakan ulat, saat ini Holib bersama kelompoknya tengah mencoba membudidayakan kebun murbei.

Lebih lanjut Holib menilai, industri tenun perlu dikembangkan dengan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang tren atau perkembangan pasar bagi pelaku industri tenun.

“Hal ini ditujukan agar pengrajin tenun dapat memenuhi kebutuhan dan selera konsumen yang semakin beragam,” ucapnya.

Baca juga: Simak Tips Menggaet Pelanggan yang Setia Untuk Usaha Makanan dan Minuman

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com