Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Darwin Darmawan

Pendeta GKI, Mahasiswa doktoral ilmu politik Universitas Indonesia

Hari Tani dan Nasib Petani

Kompas.com - 24/09/2021, 06:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETIAP 24 September masyarakat Indonesia memperingati Hari Tani Nasional. Presiden Soekarno menetapkan Hari Tani Nasional melalui Keppres No 169/1963. Penetapan Hari Tani Nasional didasari semangat untuk memuliakan rakyat tani Indonesia (Kompas, 20 September 2003). 

Setelah 58 tahun Hari Tani Nasional diperingati, bagaimana kondisi umum pertanian dan petani?

Persoalan beras 

Setelah mengalami beberapa kali kekurangan bahan pangan di masa revolusi dan pasca-kemerdekaan, Indonesia kembali mengalami kelangkaan beras pada 1972/1973.

Saat itu terjadi El Nino yang menyebabkan panen padi gagal. Kondisi ini mendorong pemerintah Orde Baru menjadikan ketersediaan beras sebagai prioritas pembangunan. 

Melalui Panca Usaha Tani (PUT), pemerintah Orde Baru mendorong petani untuk menyiapkan dan mengolah lahan, memilih dan menanam bibit, memelihara tanaman dan memberi pupuk, menangani hama dan penyakit tanaman, serta memperbaiki mekanisme pascapanen.

Program ini menyebabkan kinerja pertanian meningkat. Bahkan pada 1984 Indonesia berhasil swasembada beras. 

Sayangnya, swasembada pangan hanya bertahan dua tahun. Mulai 1986 Indonesia kembali menjadi pengimpor beras, kedelai, jagung, dan gula.

Program PUT semakin lama juga memperlemah posisi petani dan mengurangi pendapatan petani (Dwi Harsono, 2009).

Tiap tahapan dalam PUT membutuhkan ongkos produksi tinggi. Petani kehabisan modal ketika mulai menyiapkan dan mengolah lahan, membeli benih, dan menanam.

Pemberian pupuk -selain menambah ongkos produksi- membuat kualitas tanah menurun. Ongkos produksi yang tinggi menyebabkan petani yang tidak memiliki uang berutang. 

Kesulitan petani  juga terjadi ketika panen raya. Biasanya harga gabah tidak menentu. Karena sudah berutang, petani menjual gabah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP).

Pemerintah sendiri ketika menentukan HPP mempertahankan harga batas di tingkat produsen, tetapi pada saat yang sama juga tidak memberatkan konsumen. 

Krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 membuat Indonesia mengurangi berbagai subsidi terhadap sektor pertanian dan membuka keran impor beras.  Tidak jarang, kebijakan impor beras menuai pro kontra.

Pada Maret 2021 kebijakan impor beras  menuai banyak kritik karena dilakukan di tengah stok beras yang cukup dan waktunya dekat dengan panen raya.

Kontroversi impor beras semakin gaduh karena Kepala Bulog dan  Menteri Pertanian tidak merekomendasikan impor sementara Menteri Perdagangan menyatakan impor beras perlu dilakukan untuk mengantisipasi gagal panen.

Presiden Jokowi akhirnya memutuskan tidak akan melakukan impor beras selama tahun 2021. 

Pro kontra tersebut menunjukkan bagaimana beras menjadi masalah klasik yang sulit diatasi karena kebijakan pangan belum dilakukan secara matang, sistematik, terintegrasi dan berpihak kepada petani. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com