Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Darwin Darmawan

Pendeta GKI, Mahasiswa doktoral ilmu politik Universitas Indonesia

Hari Tani dan Nasib Petani

Kompas.com - 24/09/2021, 06:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jumlah lahan dan petani yang terus menurun

Swasembada beras rasanya akan terus menjadi tantangan yang sulit diatasi karena jumlah petani dan lahan pertanian terus menyusut.

Jumlah rumah tangga pertanian secara keseluruhan menurun dari 31,2 juta pada 2003 menjadi 27,7 juta pada 2018 (Badan Pusat Statistik, 2014a: 39; 2018: 17).

Khusus terkait pangan, BPS menunjukkan bahwa jumlah petani padi turun dari 14,1 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 13,2 juta rumah tangga pada 2018 (Badan Pusat  Statistik, 2014a: 44; 2018a: 15). 

Jumlah lahan pertanian juga semakin menyusut. Praktik alih fungsi lahan pertanian ke area non-pertanian sungguh memprihatinkan. Rata-rata luasan lahan sawah berkurang sebesar 650 ribu hektare  per tahun atau ekuivalen dengan 6,5 juta ton beras (BPS).

Biasanya, alih fungsi pertanian ini dilakukan untuk proyek pembangunan jangka panjang seperti pabrik, jalan, perumahaan (Warta Pertanian Januari 2020).

Selain kondisi di atas, ada hal lain yang memprihatinkan. Angka nilai tukar petani (NTP),  yang menjadi salah satu tolok ukur tingkat kesejahteraan petani, tidak menggembirakan.  

Jika mengambil tahun  dasar 2012, maka nilai tukar petani nasional sepanjang 2014 -2019 tidak mengalami peningkatan yang berarti: 102,3(2014); 101,60(2015); 101,65(2016) 101,28(2017);102,46(2018) dan 103,2(2019).   

Perlunya perubahaan paradigma 

Target swasembada beras belum terwujud dan tantangan untuk mewujudkannya sangat besar. Sayangnya,  pemerintah selalu bangga ketika menerapkan kebijakan pangan murah.

Alih-alih memikirkan kesejahteraan petani dan mamfasilitasi petani meningkatkan prioduksi pertanian, pemerintah cenderung mengambil jalan pintas dengan memberi subsidi beras. 

Kebijakan politik pangan murah dalam wujud subsidi harga pangan bagi wilayah perkotaan adalah kebijakan yang urban bias (Lipton, 1977).

Kebijakan tersebut menjadikan petani dan pertanian hanya sebagai objek untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat dan pengganjal inflasi.  Di sini sumber persoalan pertanian di Indonesia. Paradigma kita salah karena menjadikan petani sekedar objek untuk ketersediaan pangan.

Padahal, Indonesia adalah bangsa agraris. Semestinya, visi agraria menjiwai dan menjadi fokus kebijakan pemerintah.

Jika masalah klasik kekurangan pangan ingin diatasi, perlu perubahaan paradigma pembangunan pertanian,  dari sekadar menjadikan petani objek untuk food security menjadi paradigma yang memberi ruang luas kepada petani untuk mewujudkan food security, ecological sustainability, dan kesejahteran petani. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com