Misalnya ketika mengantre produk yang sedang trending bukan suatu masalah pada pelanggan tertentu, tapi justru melahirkan pengalaman dan sensasi yang membanggakan dan disebar (share) lewat media sosial.
Kedua, sejauh mana solusi yang ditawarkan dapat menghilangkan pemborosan atau menyelesaikan masalah? Solusi yang efektif akan menghilangkan masalah walau tiada yang sempurna. Hal-hal yang esensial semestinya menjadi prioritas utama, bukan pada hal-hal kecil yang mungkin sementara waktu dapat diabaikan. Atau barangkali dilupakan orang.
Ketiga, apakah solusi akan menambah pemborosan atau menambah masalah? Kadangkala satu solusi diberikan akan menimbulkan masalah baru. Atau solusi tidak tuntas menyelesaikan masalah. Barangkali ketika kantong plastik diciptakan adalah untuk memberikan solusi kemudahan dan kepraktisan agar konsumen tidak perlu lagi membawa keranjang belanja.
Tapi kini berbalik. Limbah dari kantong plastik dianggap merusak lingkungan karena tidak bisa dihancurkan. Kini dorongan untuk menggunakan kantong atau keranjang belanja kembali digalakkan.
Keempat, mengapa selama ini belum ada yang memperbaiki atau memberikan solusi? Pertanyaan ini mungkin akan menyentil wirausaha untuk menyadari bahwa solusi yang ditawarkan mungkin bukan yang pertama.
Bisa jadi pernah ada yang mencipta dan menawarkan, tetapi karena sejumlah kendala, belum memperoleh momentum yang tepat. Atau jangan-jangan secara bisnis tidak menguntungkan karena biaya produksi yang terlalu mahal dan rantai pasokan yang belum siap.
Baca juga: Simak, 3 Tips Sukses Bisnis Sampingan di Masa Pandemi
Rumusan sederhana tapi tidak mudah juga ketika problem pelanggan harus diidentifikasi. Banyak bisnis yang baru dirintis (start-up business) terjebak dengan resep sederhana ini.
Mereka menganggap ketidaknyaman pelanggan adalah masalah utama yang harus diberikan solusi dengan segera. Ketidaknyamanan yang dimaksud seperti: desain ruangan yang sudah lama, suhu penyejuk ruang yang kurang dingin, kemasan kurang modern, tampilan kurang menarik, variasi produk kurang banyak dan sebagainya.
Secara pengertian tidak salah jika ketidaknyamanan pelanggan adalah masalah yang harus diberikan solusi, tetapi mungkin itu bukan yang utama. Terlalu mudah untuk ditiru sehingga tidak menjadi competitive advantage. Mesti digali lagi hal yang lebih utama dan mengganggu.
Hal yang dapat dilakukan agar dapat mengidentifikasi problem pelanggan adalah dengan menerapkan design thinking versi Stanford University yang meliputi lima langkah.
Pertama, empati. Berempati dengan pelanggan melalui observasi dan mengalami langsung, seperti yang dialami pelanggan. Jika menggunakan versi Indonesia, wirausaha perlu melakukan "blusukan", mengalami sendiri dan tidak cukup hanya mengamati.
Kedua, definisikan. Setelah melihat langsung dan mengalami sendiri, semestinya masalah yang ada dapat diidentifikasi dengan tepat.
Ketiga, kembangkan ide. Berdasarkan masalah yang telah diidentifikasi, ide-ide bisnis untuk solusi dapat dikembangkan.
Keempat, buat prototipe. Ide yang muncul, divalidasi dan dikembangkan, lalu dibuat konsep hingga disusun purwarupa (prototipe).
Kelima, percobaan. Produk purwarupa diujicoba dan pelanggan diberi kesempatan untuk menggunakan sehingga akan banyak diterima umpan balik dari pelanggan. Perbaikan terus dilakukan hingga ditemukan solusi yang paling sesuai.
Baca juga: Rahasia ID Photobook, Sukses Bisnis Cetak Foto di Tengah Disrupsi Digital
Proses lima langkah ini dapat dilakukan terus-menerus dan berulang karena bisa saja ternyata solusi yang diberikan tidak tepat sehingga perlu dilakukan perbaikan produk atau identifikasi problem diulang kembali.
Membangun bisnis agar sukses ternyata telah dirancang dari awal. Ini memang baru satu dari sekian banyak faktor yang memengaruhi.
Langkah kecil, tapi bisa berdampak kuat pada keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang. Wirausaha yang berhasil telah memperlihatkan bahwa resep "sederhana" ini bukan sekadar memberi janji di atas kertas.
Frangky Selamat
Dosen tetap Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara