Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tahun Depan, Tarif PPN Naik Jadi 11 Persen

Kompas.com - 01/10/2021, 18:49 WIB
Fika Nurul Ulya,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sudah menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) disahkan dalam rapat paripurna minggu depan.

Rancangan yang berubah nama menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) ini salah satunya mengatur soal besaran tarif PPN umum menjadi 11 persen dari sebelumnya 10 persen.

"Tarif pajak pertambahan nilai yaitu 11 persen yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022," tulis Bab IV RUU HPP dikutip Kompas.com, Jumat (1/10/2021).

Baca juga: Tolak PPN Sembako, Peneliti: Potensinya Kecil Banget

Tarif pun akan dinaikkan secara bertahap. RUU menyebut, tarif akan kembali naik menjadi 12 persen pada tahun 2025. Di sisi lain, pemerintah mulai menerapkan sistem multi tarif PPN dengan rentang sekitar 5 persen hingga 15 persen.

Pemerintah juga membebaskan tarif PPN atas beberapa barang dan jasa. Tarif PPN sebesar 0 persen akan diterapkan atas ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak.

"Perubahan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan pemerintah kepada DPR RI untuk dibahas dalam penyusunan RAPBN," tulis aturan.

Sebagai informasi, naiknya tarif PPN menjadi isu yang hangat diperbincangkan. Indonesia akan menganut sistem multitarif PPN, yakni pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk barang mewah, dan pengenaan tarif yang lebih rendah untuk barang kebutuhan pokok.

Adanya skema multitarif membuat pemerintah juga mengambil opsi melebur PPN dengan PPnBM. Untuk sembako dan beberapa jasa krusial lain seperti pendidikan dan kesehatan akan diberikan tarif PPN yang lebih rendah dengan adanya multitarif.

Namun kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah tidak menutup kemungkinan untuk memberikan insentif alias sama sekali tak dipungut PPN bagi masyarakat tidak mampu.

Pengurangan daftar barang/jasa yang tidak dipungut PPN dilakukan agar menciptakan prinsip keadilan. Jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti China, Singapura, Filipina, hingga Thailand, Indonesia merupakan satu-satunya negara dengan begitu banyak pengecualian PPN.

Selama ini, pemungutan PPN pun dianggap tidak maksimal. Sri Mulyani bilang, Indonesia hanya bisa mengumpulkan 63,58 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Tarif PPN 10 persen lebih rendah dibanding tarif rata-rata dunia sebesar 15,4 persen.

Pengecualian barang/jasa yang bebas PPN dianggap terlalu banyak, yakni 4 kelompok barang dan 17 kelompok jasa, sehingga terjadi distorsi dan ketimpangan kontribusi sektor usaha pada PDB dan PPN dalam negeri.

Baca juga: Indef: Negara Tetangga Saja Belum Tarik PPN Sembako

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cek, Ini Daftar Lowongan Kerja BUMN 2024 yang Masih Tersedia

Cek, Ini Daftar Lowongan Kerja BUMN 2024 yang Masih Tersedia

Whats New
Rincian Harga Emas Hari Ini di Pegadaian 29 Maret 2024

Rincian Harga Emas Hari Ini di Pegadaian 29 Maret 2024

Spend Smart
Kecelakaan Beruntun di GT Halim Diduga gara-gara Truk ODOL, Kemenhub Tunggu Investigasi KNKT

Kecelakaan Beruntun di GT Halim Diduga gara-gara Truk ODOL, Kemenhub Tunggu Investigasi KNKT

Whats New
Indef: Banjir Barang Impor Harga Murah Bukan Karena TikTok Shop, tapi...

Indef: Banjir Barang Impor Harga Murah Bukan Karena TikTok Shop, tapi...

Whats New
Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

Whats New
Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com