Oleh: Ngadi
GELOMBANG penolakan terhadap rencana cukai tembakau pada tahun 2022 perlu mendapat perhatian pemerintah yang notabene bertujuan untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat. Tidak saja menyangkut nasib petani tembakau yang dipertaruhkan, tetapi makna melindungi masyarakat dari konsumsi rokok melalui kenaikan cukai yang terlihat gagal
Pada prinsipnya cukai tembakau memang perlu diatur pemerintah karena terkait dengan dua fungsi sangat penting yakni melindungi masyarakat dari konsumsi rokok dan menambah pendapatan negara untuk pembangunan.
Makna melindungi dihubungkan dengan fungsi ekonomi bahwa jika harga naik, maka masyarakat akan kesulitan membeli sehingga mereka akan berpaling dari rokok.
Makna peningkatan pendapatan negara tampaknya lebih mudah diperoleh dengan asumsi peningkatan cukai rokok akan meningkatan pendapatan negara. Akan tetapi makna ini menjadi boomerang karena kita juga berharap konsumsi tembakau akan tetap tinggi sehingga pendapatan negara meningkat.
Artinya masyarakat diharapkan tetap merokok. Makna lain, konsumsi rokok masyarakat turun tetapi ekspor meningkat. Namun selama ini upaya meningkatkan ekspor rokok masih jalan ditempat, sehingga masyarakat tetap menjadi sumber utama cukai rokok.
Dari tahun 2013, cukai rokok sudah sering mengalami kenaikan dari 8,5 persen pada tahun 2013, 8,72 persen tahun 2015, 11,19 persen tahun 2016, 10,54 persen pada 2017, 10,04 persen tahun 2018, 23 persen tahun 2020, dan 12,5 persen tahun 2021.
Baca juga: Cegah PHK, Pemerintah Diminta Tidak Menaikkan Cukai Tembakau
Asumsi meleset
Kenaikan cukai rokok bertujuan untuk mengurangi konsumsi rokok pada penduduk di Indonesia, namun asumsi ini belum terbukti hingga saat ini.
Data empirik menunjukkan secara nasional proporsi penduduk usia 15+ yang mengkonsumsi rokok tidak berangsur menurun kalau tidak dibilang stagnan. Tahun 2015 proporsi pengguna rokok adalah 30,08 persen. Angka ini kemudian menurun menjadi 29,25 persen pada tahun 2017, dimana setahun sebelumnya terjadi peningkatan cukai rokok 11,19 persen.
Akan tetapi, bersumber dari data yang sama, tahun 2018 proporsi perokok kembali meningkat menjadi 32,2 persen. Di sisi lain, setahun sebelumnya yakni pada tahun 2017 cukai rokok meningkat 10,54 persen.
Kenyataan tersebut menggambarkan bahwa kenaikan cukai tidak berhubungan dengan penurunan konsumsi rokok. Beberapa propinsi seperti Lampung, Jawa Barat, Bengkulu proporsi perokok berada diatas rata-rata yakni lebih dari 32 persen. Keadaan ini tidak berubah meskipun ada peningkatan cukai tembakau.
Begitu pula propinsi dengan proporsi perokok terendah yaitu Bali dan DI Yogyakarta yang proporsi perokok kurang dari 23 persen. Secara umum daerah-daerah tersebut proporsi perokok cenderung tetap meskipun ada kenaikan cukai rokok.
Melihat fakta tersebut, niat pemerintah untuk menurunkan konsumsi rokok melalui kenaikan cukai tampak tidak terwujud. Dari sisi petani tembakau, bertahannya konsumsi rokok menjadi berita yang menggembirakan karena karena produk mereka masih dibutuhkan dan terbeli.
Namun persoalan tingkat petani tidak sesederhana itu.
Kenaikan cukai rokok akan berpengaruh pada penurunan harga tembakau di tingkat petani. Perusahaan rokok mengatur strategi agar produksi tetap jalan dengan mengurangi biaya produksi. Jalan paling mudah bagi perusahaan adalah membeli murah produk petani.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.