Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute

Pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), sebuah lembaga pengkajian kemaritiman independen. Acap menulis di media seputar isu pelabuhan, pelayaran, kepelautan, keamanan maritim dan sejenisnya.

Membangun Pelabuhan dengan Skema KPBU, Sebuah Catatan

Kompas.com - 11/10/2021, 05:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Memang, terlalu dini memvonis bahwa skema tersebut tidak akan berjalan efektif. Dan, nyatanya dua perusahaan sudah menjalankan model ini. Yang saya ingin katakan adalah kadar trial and error dalam KPBU amat tinggi. Biarlah waktu yang akan menjawabnya.

Sekadar catatan, semua pelabuhan yang akan di-KPBU-kan, dan sebetulnya juga pelabuhan lain yang dibangun serta dikelola oleh Kemenhub melalui “sayap bisnisnya”, yaitu Unit Pengelola Pelabuhan (UPP), didirikan ala kadarnya. Pembangunan dilakukan hanya sekadar untuk penyerapan anggaran.

Bila pelabuhan yang dibangun itu berkembang dengan baik, syukurlah. Jika sebaliknya, nggak apa-apa. Yang penting kewajiban institusional untuk membangun infrastruktur yang diamanatkan oleh negara sudah dijalankan. Ini yang pertama.

Kedua, pelabuhan-pelabuhan yang masuk dalam skema pembiayaan KPBU/PPP dari sisi bisnis tidak atau kurang menjanjikan. Tidak ada feasibility study yang memadai, terutama terkait potensi hinterland pelabuhan (daerah belakang atau bahasa sederhananya pusat kargo). Bagi sebuah pelabuhan hinterland adalah daya tarik bagi kapal-kapal. Manakala kargo tersedia cukup di daerah belakang pelabuhan, maka kapal-kapal akan berdatangan dengan sendirinya.

Dalam program tol laut, kapal-kapal yang dioperasikan oleh operator BUMN maupun swasta bergerak dari bagian barat Indonesia, khususnya pulau Jawa, dengan muatan penuh menuju pelabuhan destinasi di kawasan timur Nusantara.

Ketika pulang, kapal-kapal ini hanya memuat setengah, bahkan ada yang tidak sampai setengah, dari kapasitas yang tersedia. Kargo di pelabuhan tujuan tidak cukup tersedia. Untuk ruang muat kapal yang tidak terisi ketika kapal berlayar kembali ke barat, pemerintah memberikan subsidi kepada operator kapal. Tidak hanya subsidi untuk kapal, pemerintah malah membangun kapal-kapal baru yang dioperasikan oleh BUMN pelayaran (Pelni, ASDP, Djakarta Lloyd) dalam trayek tol laut.

Dengan karakteristik pelabuhan yang akan di-PPP-kan seperti itu, rasanya tidak akan ada investor yang mau terlibat dalam menyelesaikan pembangunan pelabuhan yang terbengkalai atau pembangunan baru. Mereka akan berhitung untung dan rugi ikut skema pembiayaan yang ditawarkan oleh pemerintah. Bukankah investasi mereka akan dikompensasi dengan hak pengelolaan pelabuhan? Ya. Sayangnya, akan muncul sejumlah komplikasi yang bisa jadi akan makin menyurutkan niat mereka.

Misalnya, calon investor (penulis memperkirakan mereka sepertinya bukan entitas yang bergerak khusus dalam bisnis pelabuhan) harus mendirikan badan usaha pelabuhan sebelum mengelola pelabuhan. Bisa juga mereka bermitra dengan perusahaan yang sudah mengantongi BUP dan membuat anak usaha. Selanjutnya, mereka harus mendapatkan konsesi dari Kemenhub. Langkah-langkah ini risky dan sudah ada sejumlah perusahaan yang tersandung karenanya dan berujung di pengadilan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com