Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nelayan Tolak Harga Patokan Ikan, KKP: Kami Tak Mungkin Memanipulasi HPI

Kompas.com - 14/10/2021, 16:07 WIB
Fika Nurul Ulya,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) angkat bicara soal perhitungan Harga Patokan Ikan (HPI) yang ditolak oleh nelayan karena membuat harga ikan melambung.

Sesditjen Perikanan Tangkap (DJPT) KKP Trian Yunanda mengatakan, perhitungan HPI sudah mempertimbangkan banyak hal. Dia menegaskan, pihaknya tidak mungkin memanipulasi harga ikan.

"KKP tidak mungkin memanipulasi HPI dan nilai produktivitas. Tentunya 10 tahun harga barang sudah naik, kenaikan inflasi. Tentu kita harus lakukan penyesuaian," kata Trian dalam sosialisasi PP Nomor 85 Tahun 2021, Kamis (14/10/2021).

Baca juga: Penangkapan Ikan Terukur Berlaku 2022, Ini Zonasi dan Alat Tangkapnya

Trian menuturkan, harga patokan ikan harus disesuaikan mengingat harga patokan yang lama sudah tak relevan. Sebelum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 yang mengatur HPI terbit, pemerintah masih menggunakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 13 Tahun 2011.

Basis data harga patokan ikan dalam aturan lama itu masih menggunakan basis data tahun 2010. Tak heran, kontribusi PNBP perikanan tangkap hanya mencapai Rp 600 miliar pada tahun 2020, sedangkan produksinya mencapai Rp 220 triliun.

"Jadi sudah 10 tahun tidak ada penyesuaian. Kita memang pernah mengusulkan pada masa 10 tahun sampai tahun 2014, kemudian tidak ada lagi pengusulan sampai kewenangan berpindah ke KKP," beber Trian.

Bahkan kata Trian, harga patokan ikan yang tidak relevan itu sempat membuat kementerian tidak memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Baca juga: Sudah Tak Relevan, KKP Mutakhirkan Harga Patokan Ikan

Adapun untuk menentukan HPI, pihaknya menggunakan data harga ikan selama 2 tahun terakhir dari tahun 2019-2020 di 124 pelabuhan perikanan. Data tersebut kemudian dibandingkan dengan data harga ikan tahun 2021.

KKP kata Trian, telah mempertimbangkan perbedaan harga ikan antar wilayah, antar musim, dan antar mutu ikan. HPI rata-rata nasional tersebut nantinya ditetapkan dalam Kepmen Nomor 86 Tahun 2021.

"Sebetulnya karena kewenangan ada di kita, kita diawasi, kita tidak bisa memanipulasi harga tersebut. Itu (HPI) sudah sesuai dengan up to date, itulah yang ada dalam rancangan Kepmen," pungkas Trian.

Sebelumnya diberitakan, penetapan HPI memicu penolakan keras dari nelayan, salah satunya Perhimpunan pemilik kapal perikanan tangkap bersama Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).

Menurut nelayan, pemerintah dan KKP terlalu tinggi menetapkan harga patokan ikan. HPI dianggap tidak melihat hukum pasar, di mana harga ikan akan turun saat stoknya melimpah dan harganya naik ketika stok ikan sedikit.

Di sisi lain, penerapan harga dianggap tidak melihat kualitas ikan. Seperti diketahui, kualitas ikan memiliki level beragam.

Kemudian dengan aturan sebelumnya saja, pengusaha pemilik kapal sudah merasa berat untuk membayar biaya operasional. Apalagi di masa pandemi, pengusaha sudah mengalami kerugian yang cukup besar.

Baca juga: KKP Diminta Larang Jaring Tarik Berkantong karena Sama seperti Cantrang

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Astra Infra Group Bakal Diskon Tarif Tol Saat Lebaran 2024, Ini Bocoran Rutenya

Astra Infra Group Bakal Diskon Tarif Tol Saat Lebaran 2024, Ini Bocoran Rutenya

Whats New
Dampak Korupsi BUMN PT Timah: Alam Rusak, Negara Rugi Ratusan Triliun

Dampak Korupsi BUMN PT Timah: Alam Rusak, Negara Rugi Ratusan Triliun

Whats New
Cek, Ini Daftar Lowongan Kerja BUMN 2024 yang Masih Tersedia

Cek, Ini Daftar Lowongan Kerja BUMN 2024 yang Masih Tersedia

Whats New
Rincian Harga Emas Hari Ini di Pegadaian 29 Maret 2024

Rincian Harga Emas Hari Ini di Pegadaian 29 Maret 2024

Spend Smart
Kecelakaan Beruntun di GT Halim Diduga gara-gara Truk ODOL, Kemenhub Tunggu Investigasi KNKT

Kecelakaan Beruntun di GT Halim Diduga gara-gara Truk ODOL, Kemenhub Tunggu Investigasi KNKT

Whats New
Indef: Banjir Barang Impor Harga Murah Bukan Karena TikTok Shop, tapi...

Indef: Banjir Barang Impor Harga Murah Bukan Karena TikTok Shop, tapi...

Whats New
Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

Whats New
Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com