Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa Kereta Cepat Jakarta-Bandung Dijuluki Proyek "Nanggung"?

Kompas.com - 16/10/2021, 10:37 WIB
Muhammad Idris

Penulis

Bersaing dengan KA Argo Parahyangan

Masalah lokasi stasiun pada kereta cepat ini tidak berlaku untuk moda transportasi kereta api yang sudah ada saat ini. 

Baca juga: Biaya Kereta Cepat Jakarta-Bandung Membengkak Rp 27,74 Triliun

Selama ini, bagi warga Bandung maupun Jakarta, sudah biasa menggunakan KA Argo Parahyangan yang berangkat dari Stasiun Gambir dengan tujuan Stasiun Bandung ataupun sebaliknya. 

Kedua stasiun ini berada di jantung kota serta sudah memiliki akses transportasi yang mendukung. Dari sisi harga tiket, KA Argo Parahyangan tentu jauh lebih murah. 

Lalu, jarak pendek Jakarta-Bandung itu juga akan mempengaruhi kecepatan kereta cepat, karena kereta tidak bisa melaju dengan kecepatan maksimumnya, belum lagi harus berhenti di beberapa stasiun. Sehingga akan berdampak pada operasional kereta cepat yang lebih mahal.

Dengan beberapa alasan tersebut, Kereta Cepat Jakarta Bandung ini berpotensi terancam sepi penumpang. Selain bersaing dengan KA Argo Parahyangan dan perusahaan travel, kereta cepat juga bersaing dengan tren masyarakat pengguna kendaraan pribadi yang dimanjakan dengan Tol Cipularang. 

Baca juga: Berkah BUMN China: Jadi Pemasok Utama Rel Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Jik sudah begitu, jangankan untuk mengejar balik modal investasi yang estimasinya membengkak jadi Rp 114,24 triliun, kereta cepat bisa membebani BUMN yang menjadi operator karena sepinya penumpang apabila sudah beroperasi. Hal yang sudah terjadi pada Kereta Bandara Soekarno-Hatta. 

Diketahui, operator Kereta Cepat Jakarta Bandung adalah PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang sahamnya dimiliki PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT KAI (Persero).

“Sebentar lagi rakyat membayar kereta cepat. Barang kali nanti tiketnya Rp 400.000 sekali jalan. Diperkirakan sampai kiamat pun tidak balik modal,” kata Ekonom INDEF Faisal Basri dikutip dari Kompas TV.

Baca juga: Kilas Balik Kereta Cepat: Ditolak Jonan, Kini Mau Pakai Duit APBN

Faisal Basri bercerita, saat rapat kordinasi awal proyek itu diajukan, banyak menteri yang menokak. Begitu juga dengan konsultan independen yang disewa pemerintah, Boston Consulting Group.

“Boston Consulting Group ini dibayar Bappenas bekerja untuk 2 minggu senilai 150.000 dollar AS, menolak 2 proposal (salah satunya Kereta Cepat Jakarta–Bandung),” ujar Faisal.

"Tetapi Rini Soemarno yang berjuang. Menteri lainnya banyak menolak, tapi Rini ngotot." tambahnya.

Rini Soemarno adalah Menteri BUMN saat itu. Namun akhirnya, proposal proyek itu lolos. Dengan catatan, dikerjakan oleh BUMN dan swasta serta tidak menggunakan uang negara sama sekali.

Baca juga: Soal Kereta Cepat Rugi sampai Kiamat, Stafsus Erick Thohir Sebut Faisal Basri Konyol dan Sebar Hoaks

Janji tanpa duit APBN itu sendiri saat ini sudah diralat Presiden Jokowi. Mengingat BUMN yang terlibat di proyek tersebut kondisi keuangannya tengah berdarah-darah. 

Stasiun Tegalluar

Kawasan Tegalluar sendiri memang di masa depan diproyeksikan sebagai calon ibu kota baru Provinsi Jawa Barat. Kota Bandung dianggap sudah tidak cocok lagi menjadi pusat pemerintahan lantaran macet. Selain itu, kantor pemerintahan terpisah-pisah.

Namun itu merupakan proyek jangka panjang, sehingga kebutuhan kereta cepat sampai ke Bandung dianggap belum mendesak saat ini. Belum lagi akses transportasi antara Tegalluar maupun Padalarang yang belum memadai menuju ke Kota Bandung. 

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com