"Skema paska produksi ini kami anggap paling adil dan wajar," beber Wahyu.
Wahyu menjelaskan, keadilan tercipta lantaran pungutan PNBP hanya berkisar 5-10 persen. Pemilik kapal tidak perlu membayar pungutan lain, seperti proses perizinan kapal dan perpanjangan izin yang biasanya mencapai Rp 200-400 juta per kapal.
Hal ini kata Wahyu, sebagai amanat Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono yang menyatakan tidak boleh ada pungutan lain di luar PNBP. Pungutan memberatkan yang sejatinya ditarik oleh oknum tak bertanggungjawab mesti dihapus.
Kendati begitu, kapal dengan ukuran lebih dari 5 GT bisa juga dikenai tarif jika pemilik kapal/nelayan mengajukan izin untuk melaut di jalur III atau wilayah 12 mil dari garis pantai. Sebab, hasil tangkapan di wilayah ini berisi ikan kelas premium termasuk tuna beragam jenis.
"Kekayaan alam negara berupa ikan melimpah dan ditangkap, tapi hanya dipungut sangat kecil padahal negara sangat membutuhkan pemasukan non pajak ini. Untuk dikembalikan bagi kesejahteraan nelayan, bantuan alat tangkap, perbaikan pelabuhan perikanan di bawah KKP yang masih jauh dari kondisi ideal," jelas Wahyu.
Di sisi lain Wahyu mengakui, sosialisasi terhadap aturan baru belum maksimal dan belum menyasar pada nelayan kecil yang jumlahnya berkisar 2,3 juta orang.
Namun seiring penerapan PNBP pasca produksi secara bertahap hingga tahun 2023, pihaknya berjanji akan memperbaiki pola komunikasi dengan semua pemangku kepentingan.
Adapun keinginan Trenggono untuk menarik PNBP sudah mencuat sejak dilantik menjadi Menteri pada tahun 2020. Keinginan itu sempat dia utarakan dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR RI pada 28 Januari 2021.
Saat ini dia berencana menaikkan PNBP dari Rp 600 miliar menjadi Rp 12 triliun. Pikirnya sederhana, penarikan PNBP di sektor bahari bisa sangat besar mengingat produksi ikan mencapai Rp 224 triliun.
Bagaimana pun, semua sumber daya alam ditarik pajaknya oleh pemerintah, seperti minyak atau hasil tambang. Izin-izin kapal yang memakan biaya banyak justru akan dihapus untuk memaksimalkan penarikan PNBP satu kali.
Trenggono lantas mengusulkan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini untuk memasangkan IoT pada setiap kapal. Tujuannya agar kapal-kapal tersebut bisa dideteksi kapan melaut dan kapan menangkap ikan.
Saat pungutan ditarik, mereka tidak lagi memiliki alasan untuk tidak membayar PNBP karena kapal tidak menangkap ikan, karena produksinya bisa dimonitor dengan baik.
"Bagaimana kalau kita izin kapalnya dibebasin saja? Teknologi sekarang sudah masif, pasang saja IoT di situ, pasti ketahuan dia melaut dan nangkap atau tidak. Dia mau jual (kapalnya) ke transhipment, enggak masalah. Kita klaim saja pemiliknya, kamu harus bayar 100 persen. Kita bisa monitor produksinya dia," papar Trenggono.
Baca juga: KKP: Manfaat PNBP Perikanan Akan Kembali Lagi ke Nelayan
Kembali ke nelayan
Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Media dan Komunikasi Publik, Doni Ismanto menambahkan, penarikan PNBP yang dilakukan sudah ada dasar hukum, yakni UU Cipta Kerja.
PNBP dikenakan karena ada sumber daya alam yang dimanfaatkan. Negara kata Doni, memiliki hak terhadap sumber daya ikan di wilayahnya.
Lagi pula, PNBP perikanan tangkap yang dikumpulkan KKP hingga kini masih sangat minim, hanya Rp 600 miliar pada tahun 2020. Capaian ini tak berbanding lurus dengan produksi dan penangkapan ikan yang mencapai hasil maksimal mencapai Rp 220 triliun.
Wajar saja kontribusi PNBP perikanan hanya 0,2 persen dari total PNBP keseluruhan. Dia pun menyatakan, PNBP yang dikenakan akan kembali kepada nelayan dan ekosistem kelautan.
"PNBP kalau dapat buat siapa? Nanti baliknya ke ekosistem perikanan tangkap juga. Untuk bangun pelabuhan, kasih ke nelayan, dan lain-lain," ucap Doni.
Sesditjen Perikanan Tangkap (DJPT) KKP, Trian Yunanda menjelaskan, Penolakan tarif PNBP juga sempat terjadi pada tahun 2015, saat PP Nomor 75 Tahun 2015 di masa Susi Pudjiastuti terbit.
Saat itu, tarif PNBP menang naik signifikan dibagi menjadi 3 klaster. Untuk kapal perikanan ukuran 30-60 GT misalnya, tarifnya menjadi 5 persen dari 1 persen.