Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenaikan Tarif PNBP Perikanan, untuk Siapa?

Kompas.com - 18/10/2021, 07:38 WIB
Fika Nurul Ulya,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

Setelah penolakan, terjadi judicial review oleh semua stakeholder hingga akhirnya PP tetap berjalan di tahun 2016 hingga 18 September 2021 sebelum beleid baru muncul lagi.

Memang, perhitungan tarif PNBP dilakukan lintas kementerian bersama Kementerian Keuangan. Kemenkeu mengatur besaran tarif, sementara HPI dan produktivitas kapal ikan berdasarkan perhitungan KKP.

"Jadi (PP 75/2015 berlaku) sudah hampir 5 tahun, artinya memang ada tarif naik yang jadi permasalahan, karena tarif ini bukan kewenangan KKP, tapi ada Kemenkeu. Setelah itu tidak ada penolakan dengan kenaikan tarif itu," ucap Trian.

Sejatinya saat membahas beleid baru, KKP sempat mengusulkan penurunan besaran tarif PNBP. Namun karena tidak ada penolakan tarif sejak 2016 tersebut, Kemenkeu menganggap semua pihak sudah setuju soal itu.

"Kami kesulitan, Kementerian Keuangan merasa tidak ada penolakan," ungkap Trian.

Harga Patokan Ikan

KKP lantas mengatur Harga Patokan Ikan (HPI) terbaru yang menjadi salah satu rumusan besaran tarif PNBP pra produksi. Mekanisme penyesuaian HPI tercantum dalam dua Keputusan Menteri, yakni Keputusan Menteri KP Nomor 86 Tahun 2021 dan Keputusan Menteri KP Nomor 87 Tahun 2021.

HPI menjadi salah satu yang dipermasalahkan nelayan karena harga ikan di tiap daerah berbeda-beda. Namun kata Trian, KKP tidak mungkin memanipulasi HPI dan produktivitas kapal ikan karena diawasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Penyesuaian harga patokan ikan semata-mata terjadi karena harga patokan sebelumnya sudah tak relevan. Asal tahu saja, pemerintah sebelumnya masih menggunakan HPI basis data tahun 2010 yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 13 Tahun 2011.

Bahkan harga patokan ikan yang tidak relevan ini sempat menjadi temuan BPK, kemudian membuat kementerian tidak memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

"Kita memang pernah mengusulkan pada masa 10 tahun sampai tahun 2014 (kepada Kementerian Perdagangan), kemudian tidak ada lagi pengusulan sampai kewenangan (pengaturan HPI) berpindah ke KKP," tutur dia.

Penentuan HPI oleh KKP didasarkan oleh data harga ikan selama 2 tahun terakhir dari tahun 2019-2020 di 124 pelabuhan perikanan. Data tersebut kemudian dibandingkan dengan data harga ikan tahun 2021. Formula ini menjadi rekomendasi badan riset KKP.

Untuk merumuskan HPI, KKP telah mempertimbangkan perbedaan harga ikan antar wilayah, antar musim, dan antar mutu ikan. Dengan begitu, HPI yang tercantum dalam Kepmen KP Nomor 86 Tahun 2021 adalah HPI rata-rata nasional.

Namun demikian, pihaknya tetap melakukan peninjauan ulang penentuan HPI untuk menyerap aspirasi nelayan lewat diskusi publik yang terselenggara pada Jumat (15/10/2021).

"HPI yang ditetapkan sudah harga yang sewajarnya namun kita terima aspirasi. Berapa harga yang pantas kemudian kita konsultasikan harganya," pungkas Trian.

Ketua II Asosiasi Tuna Longline Indonesia, Dwi Agus Siswaputra menyambut baik adanya diskusi publik yang kembali digelar KKP. Menurut dia, diskusi semacam ini memang penting untuk menyerap aspirasi nelayan.

Dia pun mengungkapkan akan menerima hasil pertimbangan yang sudah melalui proses diskusi. Pun meyakini, penarikan PNBP pasca produksi bisa menyejahterakan sektor kelautan dan perikanan.

"Apapun hasilnya kami dari Asosiasi Tuna Longline siap menjalankan apapun bentuknya. Karena jujur saja, kami tidak mau mengikat kapal terlalu lama. Kalau pasca produksi ini sangat disetujui sekali karena betul-betul mencerminkan berapa ditangkap, segitu kita bayar kepada negara," tutup Agus.

Baca juga: Ubah Sistem Penarikan PNBP, KKP: Nanti Baliknya Buat Nelayan Juga

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com