Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Senja Kala BUMN Kita

Kompas.com - 20/10/2021, 11:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PRESIDEN Jokowi mengguntur tentang kinerja BUMN kita. Secara khusus Presiden Jokowi menyoroti PLN yang dinilainya birokratis, tidak mempermudah. Malah, Presiden menyebutkan bahwa untuk perizinan saja butuh 259 surat dengan nama yang berbeda-beda. Presiden tentu sudah lama mendengar ini semua. Baru saja kali ini Presiden mengekspresikan kekecewaan dan keprihatinannya secara terbuka karena sudah keterlaluan. Para pelaku bisnis sudah lama menderita dengan ahlak bisnis BUMN kita.

Kabar buruk kinerja Badan Usaha Milik Negara memang datang susul-menyusul, seperti berita longsor dan banjir di musim hujan. Beberapa bulan lalu, di depan Komisi VI DPR, Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan bahwa utang PT PLN (Persero) mencapai Rp 500 triliun.

Sebelumnya, dari maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia juga beredar rekaman terkait rencana perusahaan itu menawarkan program pensiun dini kepada karyawan dan rencana memangkas jumlah armada yang beredar di publik. Garuda juga dikabarkan memiliki utang sebesar Rp 70 triliun.

Baca juga: Erick Thohir: Bos BUMN yang Tak Mau Ikut Transformasi Pasti Saya Ganti

Perusahaan lain setali tiga uang. Laporan keuangan tahunan yang dirilis perusahaan konstruksi pelat merah, BUMN-BUMN Karya menunjukkan tren rugi. Dari Waskita Karya, Adhi Karya, Wijaya Karya, semua lesu darah. Dan banyak lagi.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini semata-mata dampak pandemi yang menghentak dunia, karena salah pengelolaan, asumsi perekonomian yang tidak sesuai, atau ada tren lain? Pandemi tentu saja memiliki kontribusi, tetapi bukan satu-satunya. Masalahnya, sebelum pandemi datang mengguntur, kisah kinerja buruk BUMN kita sudah jamak diketahui. Ini bukan hal baru. Menteri Erick Thohir hanya mewarisi carut marut. Ia datang untuk mencuci piring belaka.

Apa yang salah

Pengalaman empirik yang saya miliki selaku pihak swasta, bergandeng tangan dengan BUMN, menunjukkan bahwa memang serenceng masalah internal yang azasi dalam tubuh BUMN, harus diperbaiki secara fundamental dan sistematis.

Pertama, jajaran direksi yang memegang BUMN kita, memiliki persepsi bahwa apa pun yang terjadi dengan lembaga yang mereka kelola, toh negara ikut bertanggung jawab. Suntikan dana setiap saat bisa dikucurkan demi menjaga harga diri bangsa. Persepsi inilah yang menjadi panduan kerja pengelola BUMN kita. Rasa superior sebagai pebisnis pelat merah, membuat mereka memandang mitra bisnisnya (swasta) hanya pelengkap penderita. Ya, BUMN.

Baca juga: Jokowi Sentil BUMN Mengemis Duit APBN, Bagaimana Faktanya?

Kedua, dengan perasaan superior itulah mengapa banyak BUMN kita tidak honoring the contract. Bermitra dengan BUMN di negeri ini, adalah keribetan dan keributan tersendiri. Kontrak yang menjadi alas hak dan kewajiban dalam berbisnis, bisa dengan mudah diketepikan oleh BUMN dengan berbagai dalih.

Mari kita lihat sejumlah kasus. Bila BUMN tidak menjalankan kewajibannya sesuai kontrak dan harus membayar denda, maka BUMN tersebut bukannya patuh dan mendiskusikannya, malah justru melaporkan mitra bisnisnya ke aparat hukum dengan dalih pencemaran nama baik. Ketakmampuan memenuhi kontrak didalihkan dengan kata provokatif: “Negara dizolimi oleh swasta.” Ya, BUMN.

Ketiga, rasa superior tadi membangun sikap hendak dilayani, bukan melayani. BUMN kita tidak memiliki courtesy. Sangat jamak kita dengar, partner bisnis (swasta) memohon pemenuhan hak-hak mereka sesuai yang diperjanjikan. Namun, BUMN kita bukannya berniat menunaikan kewajiban kontraknya, tetapi permohonan mitra bisnisnya sama sekali tidak dihiraukan. Surat bisa tidak dijawab hingga setahun atau dua tahun. Sengaja digantung sedemikian rupa agar tidak ada diskusi tentang pemenuhan kewajiban BUMN.

Percaya atau tidak, mengambil keputusan untuk suatu hal yang menjadi kewajiban BUMN sesuai kontrak, bisa berpuluh-puluh kali rapay, dan tetap belum ada keputusan. Selalu membangun alibi, keputusan harus kolektif kolegial. Ya, BUMN.

Baca juga: Erick Thohir: Saya Senang Swasta dan BUMN Rukun...

Yang lebih menarik, tatkala pihak swasta menuntut haknya sesuai jalur hukum, dengan enteng BUMN mengingatkan, boleh saja menempuh jalur hukum, tetapi tidak boleh lagi mendapatkan kerjaan di BUMN tersebut. Karena, katanya, ada aturan internal yang mengatur bahwa semua mitra kerja tidak boleh memiliki dispute dengan BUMN. Maka, daripada masuk dalam daftar hitam, hak-hak mitra kerja BUMN dilepaskan begitu saja. Ya, BUMN.

Dengan rasa superior tadi, saya pernah melihat draf peraturan direksi sebuah BUMN, yang sungguh-sungguh bertentangan dengan peraturan pemerintah (PP). Bila ada yang menyoal, BUMN dengan gampang menyilahkan pihak yang tidak setuju, untuk membawanya ke Mahkamah Agung untuk diuji. BUMN lupa, berperkara di pengadilan sangat butuh waktu dan energi ekstra. Dalam konteks seperti ini, BUMN sebenarnya sudah seharusnya faham bahwa peraturan direksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah (PP). Ya, BUMN.

Daftar praktek bisnis yang tak professional ini, masih bisa ditarik labih panjang. Yang pasti, status pebisnis pelat merah adalah hulu dari segala ihwal yang melilit BUMN kita sekarang. Rasa seperior itulah yang tidak melahirkan etos kerja yang dibutuhkan dalam dunia usaha, yang penuh inisiatif, keputusan dan tindakan cepat, fair play, honoring the contract, inovasi, dan adaptasi dengan perkembangan teknologi, dan sebagainya. Simpul kata, corporate culture yang ada di BUMN kita harus diubah total.

Baca juga: Jokowi Puji Himbara dan Telkom tapi Sindir Perusahaan BUMN Ini

Mencari solusi

Pemerintah harus sangat selektif menalangi BUMN yang dililit utang. Jika prospeknya tidak menjanjikan ke depan, jauh lebih baik dilikuidasi saja. Apalagi, jika BUMN tersebut memiliki rekor panjang yang membebani keuangan negara.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com