Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mafia Tanah Berulah, Kementerian ATR/BPN: Kita Kejar sampai Ujung Langit

Kompas.com - 21/10/2021, 13:50 WIB
Ade Miranti Karunia,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Staf Khusus dan Jubir Kementerian ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi mengatakan, selama kepemimpinan Sofyan Djalil sebagai Menteri ATR/Kepala BPN, ada kemajuan positif dalam penanganan masalah pertanahan.

Untuk memberantas mafia tanah, Sofyan Djalil pun membentuk tim Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia Tanah.

Bahkan, kata Taufiq, para mafia tanah ini berencana menyerang balik Sofyan Djalil dengan mendesak mundur dari jabatannya.

Baca juga: 125 Pegawai Kementerian ATR/BPN Terlibat Mafia Tanah, 32 di Antaranya Dihukum Berat

"Saya sampaikan, ada kemajuan sangat besar di Kementerian ATR/BPN selama kepemimpinan Pak Sofyan Djalil. Paling utama dan sangat penting, Sofyan Djalil mengejar para mafia tanah sampai ke ujung langit," ujar Taufiq melalui pesan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (21/10/2021).

"Ia (Sofyan) bersumpah, negara tidak boleh kalah dengan para mafia tanah. Dulu, semua pihak menikmati kondisi yang tanpa Satgas Anti Mafia Tanah. Akibatnya, para mafia merajalela. Tapi, meski merajalela, semua menganggap aman tanpa mafia," sambung dia.

Para mafia tanah ini pun kerap mencari celah untuk menyalahkan Sofyan Djalil, dengan mempersoalkan hal-hal yang tidak relevan dengan wewenang ATR/BPN atau menggugat sesuatu yang telah dibenahi.

Salah satu yang digugat oleh para sindikat mafia tanah tersebut adalah Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU).

Taufik menjelaskan bahwa HGU merupakan wewenang gubernur untuk memberikan kepada suatu korporasi. Gubernur yang merekomendasikan, bukan BPN.

Baca juga: Kementerian ATR/BPN Dorong Legalisasi Aset di Pulau Terluar RI

Wewenang BPN hanya sampai ranah administrasi, yaitu memberikan hak berupa HGU atau HGB.

Begitu pula dengan konflik agraria juga bisa terjadi di tanah negara. Dia mencontohkan, tanah yang dikuasai PT Perkebunan Nusantara (PTPN) yang berkonflik dengan masyarakat.

Konflik agraria di lahan PTPN tidak bisa diselesaikan oleh BPN karena itu domainnya Kementerian BUMN.

"Tapi, Menteri BUMN pun tidak dengan gampang melepaskan aset negara agar konflik agraria selesai. Karena aset itu telah tercatat di perbendaharaan negara. Jadi menteri keuangan pun harus terlibat untuk menyetujuinya," jelas Taufiq.

Persoalan lainnya yang mendesak Sofyan Djalil harus mundur dari jabatan menteri, yakni adanya surveyor kadaster luar yang bekerja untuk pengukuran tanah karena penggunaan surveyor dari luar itu tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. 

Baca juga: Kasus Mafia Tanah Tak Kunjung Tuntas, Sofyan Djalil Beberkan Alasannya

Taufin menegaskan bahwa hal ini tidak benar.

"Untuk pengukuran tanah, BPN bisa menggunakan tenaga dari luar yaitu juru ukur yang berlisensi. Juru ukur ini dapat lisensi dari lembaga resmi negara, yang telah lulus setelah mengikuti ujian dan dinilai layak mendapat lisensi," kata dia.

Inspektur Jenderal Kementerian ATR/BPN Sunraizal menyebutkan, sebanyak 125 pegawai yang terbukti terlibat praktik mafia tanah telah ditindak tegas.

Menurut dia, Kementerian ATR/BPN tidak memberikan toleransi sama sekali terhadap para pegawai tersebut karena akan mengacaukan sistem pertanahan di Indonesia.

"Ini kita tidak bangga ya, menghukum 125 pegawai, tetapi ini bentuk daripada pembinaan. Yang bisa dibina ya kita bina, tetapi yang tidak bisa dibina, ya di antaranya ada yang kita berhentikan. Jadi ada hukuman berat, kita tidak main-main," kata Sunraizal dalam konferensi pers virtual baru-baru ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com