Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bikin Polusi, Pemerintah Janji Tak Lagi Terima Usulan Proyek PLTU Baru

Kompas.com - 22/10/2021, 00:03 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia menegaskan tidak lagi menerima usulan proyek baru pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara karena arah kebijakan energi nasional ke depan bertumpu pada energi baru terbarukan dan ekonomi hijau.

"Kami tidak lagi menerima usulan PLTU batu bara yang baru. Jadi, (proyek) yang ada di RUPTL sekarang adalah on going project," kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana dilansir dari Antara, Jumat (21/10/2021). 

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listik (RUPTL) 2021-2030 milik PT PLN (Persero), pembangunan PLTU yang saat ini berlangsung adalah proyek yang sebelumnya telah menandatangani kontrak program 35.000 megawatt atau proyek yang telah memasuki tahap konstruksi.

Dokumen peta jalan yang baru saja disahkan pada 28 September lalu tersebut memproyeksikan penambahan kapasitas pembangkit energi fosil dalam 10 tahun ke depan hanya sebesar 19,6 gigawatt atau 48,4 persen.

Baca juga: Siap-siap, PLTU Batu Bara Kena Pajak Karbon mulai April 2022

Sementara itu rencana tambahan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan justru lebih besar mencapai 20,9 gigawatt atau sekitar 51,6 persen.

Dalam percepatan penambahan pembangkit sebesar 40,6 gigawatt selama satu dekade ke depan, pemerintah akan membuka peran perusahaan listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk pengembangan pembangkit berbasis energi baru terbarukan.

Rida menyampaikan bahwa pemerintah sedang menyusun rencana pensiun dini atau early retirement dari PLTU batu bara yang kini ada di Indonesia.

Selain menutup usulan proyek baru pembangunan PLTU, pemerintah juga mengharuskan PLTU yang ada untuk menggunakan biomassa sebagai campuran bahan bakar hingga program pensiun dini pembangkit fosil batu bara.

Baca juga: Nasib Garuda di Ujung Tanduk

"Setelah 2030 tidak akan ada lagi pembangunan pembangkit yang berbasis fosil, tapi semuanya berbasis energi baru terbarukan," ujar Rida.

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreement, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen sampai 41 persen pada 2030 mendatang.

Dari target tersebut sektor energi diharapkan dapat berkontribusi menurunkan emisi sebesar 314 juta ton sampai 398 juta ton karbon dioksida melalui pengembangan energi terbarukan, pelaksanaan efisiensi energi, dan konservasi energi, serta melakukan penerapan teknologi energi bersih.

Pajak Karbon

 Pemerintah akan menerapkan pajak karbon secara bertahap mulai 1 April 2022 dengan sasaran sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disahkan dalam Sidang Paripurna beberapa waktu lalu. 

Baca juga: Garuda Dikabarkan Bakal Pailit, Manajemen Buka Suara

Besaran tarif pajak karbon yang ditetapkan yakni Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e), lebih rendah dari usulan awal yang sebesar Rp 75 per kilogram CO2e.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly mengatakan, pengenaan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap, serta diselaraskan dengan carbon trading sebagai bagian dari roadmap green economy.

Hal ini untuk meminimalisasi dampak pengenaan pajak karbon terhadap dunia usaha, namun tetap mampu berperan dalam penurunan emisi karbon.

"Untuk tahap awal, mulai 2022, pajak karbon akan diterapkan pada sektor PLTU batu bara dengan menggunakan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax)," ujar Yasonna dalam Sidang Paripurna.

Baca juga: Konversi ke EBT, PLN Bakal Pensiunkan PLTU Batubara Mulai 2026

Menurut dia, pengenaan pajak karbon merupakan sinyal kuat yang akan mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, serta investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan.

Selain itu, diperlukan pula untuk pengendalian peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan kenaikan suhu permukaan bumi. Sehingga akan menurunkan risiko perubahan iklim dan bencana di Indonesia.

"Pengenaan pajak untuk memulihkan lingkungan, sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri, dan 41 persen dengan dukungan internasional di 2030," jelasnya.

Sementara itu, berdasarkan bahan paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Sidang Paripurna manyatakan, penerapan pajak karbon akan mengedepankan prinsip keadilan (just) dan keterjangkauan (affordable) dengan memperhatikan iklim berusaha dan masyarakat kecil.

Baca juga: AS Gembira China Setop Bangun PLTU Batu Bara di Luar Negeri

Pemerintah juga menyiapkan peta jalan pajak karbon hingga 2025, yang nantinya berlaku dua skema yakni skema perdagangan karbon (cap and trade) dan skema pajak karbon (cap and tax).

Pada skema perdagangan karbon, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap diharuskan membeli sertifikat izin emisi (SIE) entitas lain yang emisinya di bawah cap. Selain itu, entitas juga dapat membeli seritifikat penurunan emisi (SPE).

Namun jika entitas tersebut tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka akan berlaku skema cap and tax, yakni sisa emisi yang melebihi cap akan dikenakan pajak karbon.

Adapun peta jalan pajak karbon sudah dimulai tahun ini, yang mencakup penetapan UU HPP, finalisasi Perpres Nilai Ekonomi Karbon (NEK), serta pengembangan mekanisme teknis pajak karbon dan bursa karbon.

Baca juga: PLN Gandeng PTPN dan Perhutani untuk Pasok Biomassa ke PLTU

Selain itu mencakup piloting perdagangan karbon di sektor pembangkit oleh Kementerian ESDM dengan tarif Rp 30 per kilogram CO2e atau Rp 30.000 per ton CO2e.

Sementara di 2022, mencakup target penyelesaian penetapan cap untuk sektor pembangkit listrik batu bara oleh Kementerian ESDM. Nantinya, cap yang berlaku untuk penerapan pajak karbon tahun depan masih memakai cap pada saat piloting tahun ini.

Pemerintah menargetkan implementasi pajak karbon berlaku secara penuh di 2025 melalui bursa karbon. Hal ini dilakukan dengan memperluas sektor pemajakan pajak karbon secara bertahap tergantung kesiapan sektornya, sekaligus menetapkan aturan pelaksanaan pajak karbon di setiap sektor.

Baca juga: Nasabah Tak Perlu Bayar Utang ke Pinjol Ilegal, Apa Dasar Hukumnya?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com