Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Fenomena Pandemic Burnout dan Cara Mencegahnya

Kompas.com - 23/10/2021, 09:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM kehidupan, paling tidak kita pernah sekali mengalami burnout, dengan gejala kelelahan fisik, emosional, dan mental, karena urusan pekerjaan.

Burnout bisa terjadi karena tenggat pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk, sampai menyebabkan kesulitan untuk menentukan mana yang harus digarap terlebih dahulu. Selain itu, burnout bisa juga terjadi karena pekerjaan yang ditunda-tunda dan tanpa disadari menumpuk.

Biasanya, burnout terjadi dalam kurun waktu yang singkat. Namun, pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir dua tahun menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan yang tak kunjung reda. Tanpa disadari, kondisi tersebut memicu burnout yang ditandai dengan timbulnya gejala fisik dan mental.

Majalah The Harvard Business Review baru-baru ini mengadakan survei berkaitan dengan burnout dan wellbeing sepanjang pandemi. Ternyata, 85 persen responden mengatakan, wellbeing mereka merosot dalam dua tahun terakhir.

Baca juga: Mengenal Burnout, Penyebab, dan Cara Menanganinya

Sebanyak 62 persen responden merasa bahwa mereka dikejar tenggat dan harus terus berusaha menggarap beban kerja bertumpuk. Tak hanya itu, responden banyak mengeluh soal kesulitan dalam membina hubungan antarmanusia karena pembatasan-pembatasan. Rasa lelah dan sikap sinis pun meningkat.

Para milenial adalah pihak yang paling banyak menderita burnout akibat pandemi. Mungkin, hal itu disebabkan oleh kebutuhan sosialisasi mereka yang sangat besar dibanding generasi lain.

The psychology of uncertainty

Perubahan-perubahan drastis seperti wafatnya anggota keluarga ataupun teman terdekat dapat memberikan rasa syok. Banyak anjuran untuk tetap bersyukur dan berani menghadapi perubahan, tetapi anjuran tersebut lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.

Sementara itu, kepanikan yang ditimbulkan musibah bertubi-tubi selama pandemi justru berkembang lebih cepat daripada virus corona sendiri.

Bagian otak yang bertugas mengurus metode pertahanan diri kita berusaha mendefinisikan keadaan apa yang aman dan tidak aman. Namun, situasi yang serba tidak jelas membuatnya tidak pernah dapat menemukan definisi tersebut.

Baca juga: Bisa Cegah Burnout saat WFH, Ini Pentingnya Manajemen Waktu Pribadi

Pada kondisi seperti itu, biasanya bagian otak tersebut mengambil kemungkinan terburuk dan memberi peringatan pada diri kita akan hal tersebut sehingga timbul rasa takut. Sebuah penelitian bahkan menemukan bahwa tingkat stres kita lebih kecil saat menghadapi kesakitan yang sudah pasti dibandingkan dalam kondisi ketidakpastian apakah hal yang dihadapi akan menimbulkan kesakitan.

Mindset is everything

Saat burnout, kekuatan dapat diperoleh dengan memulai dari sesuatu yang bisa kita kontrol, yakni cara pandang kita terhadap suatu gejala. Kepanikan dapat kita jawab dengan rasionalisasi yang lebih masuk akal. Masalah deadline dengan pekerjaan bertumpuk dapat kita urai, delegasi, ataupun bicarakan. Tidak semua hal adalah disrupsi bila kita dapat mengurai dan memahaminya.

Para ahli molekul menemukan bahwa pikiran negatif atau pesimistis dapat memperpendek ukuran kromosom kita dan dengan sendirinya dapat memperpendek usia kita juga.

Berhenti sejenak

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman

Kita semua mengalami situasi di mana pekerjaan menumpuk sampai sulit sekali mengambil cuti. Terkadang, situasi seperti itu juga dikarenakan rasa bersalah dan kekhawatiran dianggap tidak berkontribusi. Beragam dilema ini dilatarbelakangi oleh uncertainty yang semakin tidak jelas akibat aktivitas bekerja yang dilakukan di rumah ini.

Kekhawatiran tentang kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat. Padahal, bukankah kita sendiri dapat menakar produktivitas?

Baca juga: Akademisi Unpad Kupas Penyebab dan Cara Mencegah Burnout

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com