Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Chappy Hakim
KSAU 2002-2005

Penulis buku "Tanah Air Udaraku Indonesia"

Obrolin Garuda Yuk...

Kompas.com - 24/10/2021, 19:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KABAR terakhir tentang nasib dari Maskapai Penerbangan kebanggaan bangsa kita, Garuda Indonesia konon akan dipailitkan dan diganti perannya oleh Pelita Air Service. Langkah ini pasti banyak yang menyayangkan apabila benar benar sampai terjadi.

Kita semua sudah tahu bahwa kesulitan keuangan yang dialami oleh Garuda tidak hanya kali ini. Garuda sudah mengalami beberapa kali kesulitan keuangan. Cilakanya kesulitan keuangan yang terakhir sekarang ini belum sempat diatasi sudah keburu datang pandemi Covid-19 yang menghantam babak belur industri penerbangan di seluruh dunia.

Jadi, jangankan maskapai yang sedang sakit, yang tengah sehat wal afiat alias berjaya sekalipun hancur luluh lantak.

Kalau boleh berandai andai, maka bila tidak ada pandemi Covid-19 pasti masalah kesulitan keuangan di Garuda sudah selesai dan tinggal menunggu waktu saja beberapa lama untuk mengalami kesulitan keuangan kembali. Ini memang siklus musiman yang di alami maskapai penerbangan Garuda Indonesia dari waktu ke waktu.

Apa sebenarnya yang terjadi?

Baca juga: Pemerintah Diam-diam Siapkan Maskapai Pelita, Andai Garuda Ditutup

Sederhana sekali, yaitu setiap saat Garuda mengalami kesulitan keuangan, maka yang dilakukan untuk mengatasinya adalah, menggelontorkan dana talangan dan mengganti tim manajemen.

Perusahaan kembali sehat dan kegiatan pun kembali normal, keuntungan besar pun datang mengalir, bahkan diselingi perolehan berbagai gelar yang membanggakan best ini best itu dan juga peningkatan prestise sebagai maskapai bintang 3 menjadi bintang 4 dan seterusnya.

Kita dibuat kagum dan sangat bangga menyaksikannya. Semua pihak memuji-muji Garuda yang ternyata mampu memperoleh keuntungan jutaan dollar AS. Sampai pada satu saat akan mengalami lagi hal yang serupa yaitu kesulitan keuangan.

Siklus yang sangat mudah untuk diriset dari data yang lengkap pada penggal waktu perjalanan Garuda 3 sampai 4 dekade terakhir.

Ibarat mengalami demam (kesulitan keuangan), Sang Garuda hanya memperoleh obat penurun panas untuk kemudian bergiat kembali. Penyakit sebenarnya sama sekali tidak dilacak, karena sudah cukup puas dengan obat penurun panas saja. Itu sebabnya maka sang demam datang lagi dan datang lagi. Obat penurun panas pun beraksi lagi untuk mengatasinya, keuntungan jutaan dollar AS pun diraih kembali. Serangkaian pujian dan penghargaan pun berdatangan kembali.

Dengan datangnya pandemi, maka jelas obat penurun panas tidak mempan lagi menyembuhkan demam Sang Garuda, maka dicarilah Garuda baru yang bernama Pelita. Apabila ini terjadi, maka kita akan memasuki babak baru maskapai penerbangan bernama Pelita.

Dengan perlakuan yang sama dalam mengelola Garuda dipastikan Pelita akan mengalami siklus yang lebih kurang sama, namun mungkin lebih canggih lagi menggunakan varian baru.

Pengalaman menangani Garuda dengan standar siklusnya pasti akan menyempurnakan pola pengelolaan penyakit demam di maskapai nasional yang baru ini. Pelita akan segera meraih keuntungan besar, dan memperoleh banyak pujian dari berbagai pihak.

Selanjutnya seperti biasa akan segera memperoleh pula berbagai penghargaan sebagai maskapai yang best ini dan best itu sampai gelar maskapai penerbangan berbintang 7 mungkin nantinya. Selanjutnya akan tiba pula masanya Sang Pelita akan mengalami “demam” (kesulitan keuangan) lagi.

Kesimpulan sementara adalah kita memang belum mampu mengelola sebuah maskapai penerbangan.

Bayangkan, jalur penerbangan di Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan adalah jalur penerbangan yang “pasti” sekali lagi “pasti” akan menjanjikan keuntungan yang besar. Jalur penerbangan umrah dan haji di Indonesia yang mayoritas beragama Islam adalah jalur penerbangan yang tidak hanya “pasti” akan tetapi “mbahnya pasti” memberikan keuntungan besar terutama secara finansial.

Baca juga: Nasib Garuda di Ujung Tanduk

Maskapai apapun, apakah Garuda, Pelita atau apa saja bila ditugaskan menjalankan amanah perhubungan udara di Indonesia pasti akan untung. Jalur penerbangan yang menghubungkan kota kota besar di Indonesia dan di kawasan regional serta beberapa kota terkenal di dunia adalah lahan penghasil pendapatan negara yang tersedia.

Jalur penerbangan untuk rute umrah dan haji adalah lahan yang sangat menjanjikan pemasukan dana besar bagi negara. Kedua model jejaring perhubungan udara tersebut sudah selayaknya diberlakukan sebagaimana ditentukan dalam konstitusi, yaitu ditujukan semata untuk kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.

Kedua model jejaring perhubungan udara itu adalah laksana sumber daya alam yang tidak ada batasnya bahkan akan terus berkembang. Tidak ada batasnya, dalam arti selama Indonesia masih beruwjud negara kepulauan dan penduduknya masih tetap beragama Islam.

Pertanyaan yang segera muncul adalah lalu mengapa Garuda tidak bisa mengemban amanah itu. Mengapa Garuda gagal mengelola sumber daya alam yang tidak terbatas itu. Mengapa Garuda kerap mengalami “demam” (kesulitan keuangan) yang berulang ulang.

Mengapa pula MNA, maskapai penerbangan milik pemerintah yang satu spesies dengan Garuda sudah lebih dahulu “meninggal dunia”. Mengapa maskapai-maskapai lainnya tidak pula berhasil sukses di tengah lumbung padi rute gemuk di dalam negeri. Di tengah lumbung padi rute penerbangan umrah dan haji.

Mengapa maskapai-maskapai baru yang bermunculan tidak juga berhasil dan bahkan sering mengalamai kecelakaan fatal yang sangat memalukan. Mengapa dan mengapa dan masih banyak pertanyaan lain berkait dengan itu.

Kita harus mengakui bahwa untuk sementara kita “gagal”mengelola sumber daya alam yang sangat menjanjikan. Kita “gagal” mengelola maskapai penerbangan.

Apabila mau merenung sejenak saja, maka dengan mudah kita akan memperoleh jawaban jitu atas semua yang terjadi. Paling tidak ada dua hal utama yang menjadi penyebab maskapai penerbangan di Indonesia “kurang berhasil”.

Ada yang salah dalam sistem pengelolaan maskapai penerbangan di Indonesia. Pertama adalah kita belum memiliki cukup tenaga profesional di bidang penerbangan, khususnya dalam pengetahuan manajemen bisnis dari sebuah maskapai penerbangan dan juga termasuk dalam bidang manajemen bisnis pada pengelolaan bandara.

Penerbangan adalah bidang yang relatif masih baru berkembang yaitu dimulai pada tahun 1903. Penerbangan adalah masih berstatus sebagai new kid on the block. Akan tetapi sangat berbeda dengan bidang lainnya, perkembangan teknologi penerbangan berjalan “sangat – amat cepat”.

Dunia penerbangan adalah dunia yang sangat amat dinamis. Kenyataan ini sebenarnya telah disadari sejak awal tahun 1950-an, sehingga pemerintah mendirikan API – Akademi Penerbangan Indonesia untuk menjawab tantangan dinamika dunia penerbangan yang dinamis itu. Tenaga – tenaga pilot, teknisi, air traffic controller dididik atas biaya pemerintah untuk segera mengisi tenaga professional di bidang penerbangan.

Baca juga: Bos Garuda Indonesia Tanggapi Kabar soal Opsi Pailit

Sayangnya adalah pemerintah ketika itu belum berpikir untuk juga membuka pendidikan staf dan manajemen bagi tenaga profesional yang up to date yang akan duduk dalam jajaran manajemen maskapai penerbangan dan bandara.

Pengalaman membuktikan bahwa jajaran manajemen di sebuah maskapai penerbangan tidak bisa diambil comot sana comot sini. Walau dari mereka yang pintar, cerdas dan telah berhasil sukses di bidang kerja sebelumnya.

Maskapai penerbangan adalah perusahaan yang sangat berbeda anatominya, di samping sifatnya yang teknis dan sangat sensitif terhadap dinamika kemajuan teknologi. Jajaran manajemen sebuah maskapai penerbangan harus berkembang dari dalam maskapai itu sendiri.

Jajaran manajemen maskapai penerbangan harus berangkat dari mereka yang menjalani dan menghayati bertahun tahun di dunia penerbangan yang sangat high technology itu. Jajaran top management maskapai penerbangan harus berasal dari mereka yang puluhan tahun bergelut dan bergumul dalam ruang teknologi aviasi.

Itu adalah jawaban pertama yang patut menjadi perhatian bila kita ingin melihat sebuah maskapai penerbangan sukses. Jawaban kedua adalah bahwa pengelolaan apapun dibidang yang erat dengan kemajuan teknologi, maka ada mekanisme standar tata kelola mendasar yang harus dilakukan.

Di bidang yang teknologis dan dinamis sifatnya, maka diperlukan disiplin tinggi, pengawasan ketat dan hukuman efek jera bila terjadi pelanggaran. Dalam pengelolaan sebuah maskapai penerbangan hal itu menjadi sangat mengemuka, karena di lingkungan penerbangan yang bergumul dengan aliran dana besar, akan selalu saja hadir orang orang yang tidak sabar menunggu untuk menjadi kaya bersama sama.

Terlalu banyak yang sangat ingin mendahului jadi orang kaya. Walau apabila sabar sebenarnya kita bisa dengan mudah menjadi kaya bersama-sama. Rp 70 triliun terlalu kecil untuk mengubur hidup hidup Garuda Indonesia, karena yang salah sebenarnya bukan Garuda, akan tetapi itu tadi maskapai tidak dikelola oleh tenaga manajemen yang profesional, dalam arti disiapkan sejak awal dengan education and training dalam aviation business serta kaderisasi berjenjang dari bawah dalam mencapai posisi top management.

Di samping itu harus dapat menghindari hadirnya orang orang yang agak kurang sabar untuk menjadi kaya bersama. Sekali lagi diperlukan disiplin, pengawasan ketat terus menerus dan hukuman efek jera bila ada yang melanggar aturan. Semoga Sang Garuda Bangkit Kembali.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com