Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Dua Pekerja Konstruksi, Ditipu Tak Dapat Upah hingga Berhasil Wujudkan Mimpi

Kompas.com - 26/10/2021, 15:44 WIB
Elsa Catriana,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - "Mereka biasa membangun rumah dengan spesifikasi tinggi, atau turut membangun gedung tinggi. Tetapi, membangun rumah sendiri masih menjadi mimpi...." Kalimat inilah yang cocok diperuntukkan bagi para pekerja konstruksi Indonesia.

Situasi pandemi Covid-19 yang saat ini sedang terjadi, bukan situasi yang mudah bagi siapa saja.

Hal inilah yang dirasakan Widhianto dan Mariono, dua dari sekian juta pekerja konstruksi yang harus bertahan di tengah kesusahan karena pandemi.

Namun, pandemi tak menyurutkan semangat dan optimistis mereka.

Bergabung di sebuah komunitas, Komunitas Sedulur Gravel, membantu mereka bertahan. Tak hanya kepastian soal pekerjaan, tetapi juga menumbuhkan keyakinan bisa mewujudkan impian mereka untuk membangun rumah sendiri dan menyekolahkan anak-anak hingga ke jenjang pendidikan tinggi.

Baca juga: Jutaan Pekerja di AS Berhenti Kerja, Bisakah Terjadi di Indonesia?

Widhianto (33) sudah bekerja sebagai pekerja konstruksi sejak 2013. Tumbuh besar di Ibu Kota Jakarta, pria yang punya kampung halaman di Wonogiri, Jawa Tengah, ini, mengatakan, profesi yang dijalaninya penuh tantangan.

Dia bilang, pekerja konstruksi kerap mengalami ketidakpastian, baik dalam hal mendapatkan proyek pekerjaan, kesejahteraan, maupun jaminan perlindungan.

Dia berkisah, pernah mengalami beberapa kali ditipu karena tidak mendapatkan upah dari pekerjaan yang sudah dilakukannya. Proyek sudah selesai, tetapi upah tak dibayarkan.

“Beberapa kali mengalami hal seperti ini. Pekerjaannya sudah selesai, tetapi upah enggak dibayar-bayar. Sampai akhirnya menghilang begitu saja,” kata Widhianto dalam keterangannya kepada Kompas.com, Selasa (26/10/2021).

Kondisi ini membuat bapak dari satu anak ini mengaku tak berani bermimpi apa pun untuk masa depannya.

Ia bertahan untuk mendapatkan penghasilan demi menghidupi keluarga kecilnya. Biasanya, pekerjaan didapatkan melalui seorang kenalan dan mandor proyek.

Upah yang seharusnya dibayar harian, seringkali tak dipenuhi dan dijanjikan akan dibayar kemudian. Bertahun-tahun bekerja sebagai pekerja bangunan, hal ini yang menjadi hambatan terbesar bagi Widhianto.

Bagaimana pun, kepastian soal upah menentukan pemenuhan kebutuhan keluarganya. “Kadang-kadang, sampai harus dikejar-kejar (untuk pembayaran upah). Itu juga kadang berhasil, kadang tidak,” ujar Widhianto.

Hal yang sama juga dialami Mariono (43), yang sudah punya rekam jejak cukup panjang dalam pekerjaan konstruksi.

Pria asal Kendal, Jawa Tengah, ini, menyebutkan, ia bekerja sebagai pekerja konstruksi sudah sangat lama, bahkan pernah melanglang buana di Malaysia selama 10 tahun.

Sekembalinya ke Tanah Air, pada 2009, ia kembali menjalani profesi yang sama di Pulau Bali.

“Biasalah, kalau pekerjaan seperti ini kita dapat dari kenalan atau dibawa mandor. Modalnya ya sama-sama percaya saja,” kata Mariono.

Dengan pengalaman yang lama di sektor konstruksi, Mariono sudah menguasai berbagai keahlian di bidang pekerjaan ini. Ia juga sudah memahami berbagai seluk beluk lainnya yang kerap merugikan pekerja.

Akan tetapi, ia bertahan karena harus menghidupi istri dan kelima anaknya.

“Ditipu ya sudah pernah juga. Bukan cuma sekali malahan. Banyaklah ceritanya. Mandornya kabur bawa uang pekerja, pembayaran upah telat, atau tidak dibayar sama sekali,” ungkap Mariono.

“Kalau sudah begitu ya bingung juga. Mana mau bayar uang sekolah anak, bayar cicilan, beli susu. Tapi mau bagaimana lagi, situasinya ya begitu,” lanjut Mariono.

Baca juga: Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan Turun Berasal dari Penerima Upah dan Jasa Konstruksi

Berulang kali mengalami kehilangan hak yaitu upah yang tak dibayar, membuat Widhianto dan Mariono berusaha mencari jalan yang lebih baik.

Keduanya kemudian menemukan Komunitas Sedulur Gravel yang mempertemukan para pekerja konstruksi dalam suatu wadah.

Widhianto bergabung di komunitas ini sejak Februari 2020. Sementara, Mariono mengaku mengetahui komunitas ini saat berselancar di media sosial Facebook.

“Kan ada grup pekerja bangunan gitu, terus ada informasi soal Komunitas Sedulur Gravel ini. Saya coba gabung saja, namanya usaha, siapa tahu bisa mendapatkan kesempatan yang lebih baik,” kata Mariono.

Mariono juga bergabung di Sedulur Gravel sejak Februari 2020. Kala itu, dampak pandemi Covid-19 mulai terasa.

Dari Bali, ia pindah ke Banten, daerah asal istrinya untuk melanjutkan mengadu nasib. Proyek-proyek di Pulau Dewata mulai sepi.

Setelah bergabung di Komunitas Sedulur Gravel, keduanya bisa berkomunikasi dengan sesama pekerja konstruksi lainnya dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang. Melalui komunitas ini pula mereka mendapatkan berbagai proyek pekerjaan.

Situasinya jauh berbeda. Tak ada lagi cerita upah telat dibayar.

“Saya awalnya diajak teman saya yang sudah gabung di Komunitas Sedulur Gravel ini. Pas juga enggak lama pandemi. Jadi bersyukur saja, karena sejak di komunitas ini, ada saja proyek. Lebih pasti lah,” ujar Widhianto.

Pembayaran upah, lanjut Widhianto, dibayarkan sesuai hak sehingga tak ada kekhawatiran di benaknya. Dengan adanya kepastian penghasilan, Widhianto kini mulai mewujudkan mimpinya.

“Saya mulai membangun rumah sendiri di Wonogiri. Harapannya suatu saat bisa kembali ke kampung halaman, sudah punya rumah. Sebelumnya, saya enggak kebayang, akhirnya mampu juga membangun rumah,” kata dia.

Sebelumnya, Widhianto tak berani mewujudkan mimpinya karena alasan ketidakpastian penghasilan. Berulang kali mengalami kehilangan upah karena tak dibayar.

“Sekarang enggak ada kekhawatiran itu lagi, karena kerja hari itu, langsung dapat upah. Saya jadi berani merencanakan sesuatu untuk masa depan,” lanjut Widhianto.

Demikian pula Mariono. Impian jangka panjangnya juga membangun rumah yang mapan untuk keluarga. Ia yakin, suatu saat impian ini akan terwujud.

Targetnya saat ini, bisa menyisihkan penghasilan untuk kelanjutan pendidikan kelima anaknya. Anak sulung Mariono kini tengah menempuh kuliah di sebuah universitas di Pandeglang, Banten. Anak keduanya baru lulus SMK, anak ketiga dan keempat duduk di kelas 1 dan kelas 3 SMK, sementara anak bungsunya masih duduk di bangku TK.

“Mudah-mudahan semua nanti bisa mengikuti jejak kakaknya sampai kuliah. Itu keinginan saya. Sekarang saya berani berharap begitu, karena proyek Alhamdulillah enggak pernah berhenti, dan dapat bayarannya juga pasti,” kisah Mariono.

Menurut Mariono, selama bergabung di Komunitas Sedulur Gravel, ia terus mendapatkan pekerjaan. Biasanya, proyek yang dikerjakan Mariono di area Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi.

Ia berharap, komunitas ini ke depannya akan semakin besar sehingga bisa menjangkau berbagai proyek konstruksi di banyak daerah di Tanah Air.

“Karena kami sangat terbantu ya, dapat pekerjaan enggak bergantung dari kenalan. Bisa mengerjakan proyek di mana saja. Mudah-mudahan ke depannya bisa sampai ke wilayah lain di luar Jabodetabek,” kata dia.

Komunitas ini, menurut Widhianto dan Mariono, tak hanya soal pekerjaan. Mereka juga merasakan ikatan kekeluargaan yang kuat di antara sesama anggota. Para pekerja konstruksi yang bergabung di sini berasal dari berbagai daerah. Berbagi soal keahlian masing-masing juga kerap dilakukan. Hal ini membuat para anggotanya bisa belajar satu sama lain dan meningkatkan skill-nya.

Sementara itu, pendiri KSG, Georgi Ferdwindra Putra, mengungkapkan, mengetahui para pekerja yang bergabung dalam komunitas ini merasa terbantu dan mendapatkan penghidupan yang lebih baik adalah hal yang sangat disyukurinya.

“Banyak hal-hal yang bisa saya lihat, saya syukuri setiap hari. Mulai dari sejumlah anggota yang meningkat berat badannya, karena mereka tenang soal pekerjaan. Sudah bisa memikirkan kebutuhan tersier, membeli baju, sepatu, menyekolahkan anaknya yang lebih dari 2 orang ke pendidikan tinggi. Ada juga yang membawa keluarganya naik haji, bisa sampai mengangkat anak asuh dan membiayai anak asuh, mendirikan bisnis warung, tambal ban,” papar Georgi.

Cerita-cerita dari para anggota ini, lanjut dia, membuatnya bersyukur telah mendirikan Komunitas Sedulur Gravel pada 2019.

Kata “sedulur” dipilih karena mengandung makna yang membangkitkan kedekatan dan persahabatan. “Sedulur” atau “Dulur”, yang seringkali disingkat “Lur”, sering digunakan sebagai sapaan yang menunjukkan kedekatan.

Ia berharap, komunitas ini bisa menjadi wadah komunikasi yang sarat dengan rasa kekeluargaan.

Georgi mengatakan, pekerja konstruksi merupakan pekerja di sektor informal yang lemah dari berbagai sisi. Seringkali terjadi pemutusan hubungan kerja sepihak karena alasan yang sangat subjektif.

“Kalau seorang pekerja pekerjaannya dinilai tidak bagus oleh manajernya atau proyeknya, maka langsung dipecat, tidak ada kepastian pekerjaan. Meski industri konstruksi membaik, tetapi pekerja sulit mendapatkan pekerjaan. Mereka seringnya mendapatkan pekerjaan dari kenalan,” kata dia.

Georgi juga menjelaskan, para calon anggota cukup bergabung dengan grup Facebook Komunitas Sedulur Gravel (KSG). Syarat untuk bergabung antara lain pembatasan usia anggota maksimal 43 tahun.

Batasan ini diambil dengan berbagai pertimbangan, karena pekerjaan konstruksi berkaitan dengan kondisi fisik yang prima sebagai upaya melindungi pekerja. Selain itu, pengelola KSG juga akan melihat catatan pengalaman kerja, spesialisasi keahlian, dan hal terkait lainnya. Kemudian, para calon anggota akan dihubungi tim KSG untuk proses selanjutnya.

Setelah bergabung di komunitas, para anggota akan didata domisili dan kontaknya. Selanjutnya, ketika ada proyek konstruksi, KSG akan menyalurkan para pekerja ke proyek tersebut.

Baca juga: Penyaluran Kredit Baru Kuartal III Masih Tumbuh, Sektor Konstruksi dan Pertanian Naik Paling Tinggi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com