Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini 3 Alasan China Dipilih Jokowi Garap Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Kompas.com - Diperbarui 31/10/2021, 19:53 WIB
Muhammad Idris

Penulis

Sumber Kompas.com

KOMPAS.com - Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung terus menuai kritik beberapa hari terakhir. Bahkan, kontroversi proyek ini sudah menyeruak sejak perencanaan di tahun 2015 silam. 

Seperti diketahui, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung mengalami pembengkakan biaya dan gagal memenuhi target awal penyelesaiannya. Pada awalnya, proyek ini diperhitungkan membutuhkan biaya Rp 86,5 triliun. 

Kini biaya proyek menjadi Rp 114,24 triliun alias membengkak Rp 27,09 triliun, dana sebesar itu tentu tak sedikit. Target penyelesaian pun molor dari tahun 2019 mundur ke tahun 2022. 

Agar proyek tidak sampai mangkrak, pemerintah berencana menambal kekurangan dana dengan duit APBN melalui skema penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN yang terlibat di proyek tersebut. 

Baca juga: Ini Sederet Janji Jokowi soal Proyek Kereta Cepat di 2015 Silam

Janji China ke Indonesia

China memenangkan persaingan dengan Jepang dalam pembangunan kereta cepat sepanjang 142,3 km tersebut. Saat itu, Jepang mengajukan proposal dengan nilai 6,2 miliar dolar AS, sedangkan China mengajukan 5,5 miliar dollar AS.

Jepang menawarkan pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 0,1 persen. Sementara China dengan tenor yang sama, menawarkan bunga pinjaman 2 persen. 

Setidaknya, ada tiga alasan mengapa akhirnya pemerintah Indonesia memilih China ketimbang menggunakan teknologi Jepang yang sudah lebih dulu melakukan studi kelayakan dan menawarkan bunga utang jauh lebih rendah.

Baca juga: Plus Minus Naik Kereta Cepat Vs KA Argo Parahyangan, Pilih Mana?

1. Janji tanpa APBN

Pertama, China menang karena menjanjikan proyek tersebut bisa dilakukan murni dengan skema bisnis antar-BUMN kedua negara alias business to business (B to B).

Menteri BUMN 2014-2019 Rini Soemarno menyebut pemerintah Indonesia menerima China karena negara itu menawarkan pembangunan proyek tanpa APBN seperser pun. 

"Begini soal kereta cepat supaya semua jelas. Padahal kan sebetulnya keputusan pemerintah sangat jelas. Nah kalau dilihat dari dua proposal yang diterima, yang memenuhi syarat adalah proposal dari Tiongkok. Karena dari Tiongkok tidak meminta jaminan dari pemerintah. Tidak minta anggaran dari pemerintah dan ini transaksi B to B karena BUMN dengan BUMN," ujar Rini Soemarno kala itu.  

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno melepas secara simbolis keberangkatan pemudik dalam Program Mudik Bareng BUMN 2019 di kompleks Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Kamis (30/5/2019).KOMPAS.com/MURTI ALI LINGGA Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno melepas secara simbolis keberangkatan pemudik dalam Program Mudik Bareng BUMN 2019 di kompleks Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Kamis (30/5/2019).

Karena itu pula kata dia, Kementerian BUMN melakukan pendalaman kepada BUMN China. Lalu, akhirnya disepakti untuk membuat joint venture agreement

Baca juga: Kala Jepang Menyesal dan Kecewa pada Indonesia Gara-gara Kereta Cepat

"Yang diputuskan juga adalah ini konsorsium dari BUMN (dikerjakan BUMN tanpa APBN)," kata Rini Soemarno.

Menurut Rini, APBN tak bisa dibebani lagi untuk membangun Kereta Cepat Jakarta Bandung sepanjang 142 km itu. Sebab dana APBN telah difokuskan untuk membangun infrastruktur di seluruh Indonesia, tak hanya Pulau Jawa saja.

Adapun BUMN yang terlibat dalam konsorsium proyek kereta cepat meliputi PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga, PT Kereta Api Indonesia, serta PT Perkebunan Nusantara VIII.

Sementara China juga membentuk konsorsium demi proyek yang akan menelan dana puluhan triliun itu. Tutur Rini, China Railway Corporation (CFC) akan memimpin konsorsium BUMN Tiongkok itu. 

Baca juga: Ini Alasan Jokowi Dulu Pilih China dan Tolak Jepang Garap Kereta Cepat

Halaman:
Baca tentang
Sumber Kompas.com
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com