Jokowi menegaskan, jangankan menggunakan uang rakyat, pemerintah bahkan sama-sekali tidak memberikan jaminan apa pun pada proyek tersebut apabila di kemudian hari bermasalah.
Baca juga: Kata Faisal Basri, Sampai Kiamat Pun Kereta Cepat Tak Akan Balik Modal
Hal ini karena proyek kereta cepat penghubung dua kota berjarak sekitar 150 kilometer tersebut seluruhnya dikerjakan konsorsium BUMN dan perusahaan China dengan perhitungan bisnis.
"Tidak ada penjaminan dari pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan yang namanya B to B, bisnis," tegas Jokowi kala itu.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengingatkan, bahwa hitung-hitungan ekonomi proyek pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung yang diperkirakan menelan investasi Rp 70 triliun sampai Rp 80 triliun itu sangat jelas.
Sementara itu, Menteri BUMN 2014-2019 Rini Soemarno menyebut pemerintah Indonesia menerima China karena negara itu menawarkan pembangunan proyek tanpa APBN dan tidak memerlukan jaminan dari pemerintah Indonesia.
Baca juga: Dilema Kereta Cepat: Sampai Bandung 46 Menit, Tapi Cuma di Pinggiran
"Begini soal kereta cepat supaya semua jelas. Padahal kan sebetulnya keputusan pemerintah sangat jelas. Nah kalau dilihat dari dua proposal yang diterima, yang memenuhi syarat adalah proposal dari Tiongkok. Karena dari Tiongkok tidak meminta jaminan dari pemerintah. Tidak minta anggaran dari pemerintah dan ini transaksi B to B karena BUMN dengan BUMN," ujar Rini Soemarno kala itu.
Dalam proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung, China menggelontorkan utang yang sangat besar. Plafon pengembalian ditetapkan 40 tahun dengan bunga sebesar 2 persen.
Karena banyak perusahaan China yang terlibat di dalamnya, maka banyak komponen hingga tenaga kerja juga didatangkan dari sana.
Meski besarannya peranan Beijing di proyek itu, Jokowi berujar, China tak bisa mendikte Indonesia dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, proyek pada awal sebelumnya digadang-gadang akan digarap oleh Jepang.
Baca juga: Beda dari Jokowi, Malaysia Pilih Batalkan Proyek Kereta Cepat meski Merugi
“Jangan mentang-mentang bawa uang dan teknologi, terus mau ngatur-ngatur kita, ya nggak gitu. Memang harus seperti itu, jangan juga terlalu ikut dan disetir oleh investor, ndak mau saya,” ujar Jokowi.
Seperti diketahui, China memenangkan persaingan dengan Jepang dalam pembangunan kereta cepat sepanjang 142,3 km tersebut. Saat itu, kata dia, Jepang mengajukan proposal dengan nilai 6,2 miliar dolar AS, sedangkan China mengajukan 5,5 miliar dollar AS.
Jika menilik ke belakang, polemik Kereta Cepat Jakarta Bandung sempat membuat hubungan Indonesia-Jepang merenggang. Terlebih setelah Tokyo mengetahui kalau pemerintah Jokowi lalu berpaling ke China dalam proyek itu.
Dikutip dari pemberitaan Kompas.com 4 September 2015, Duta Besar Jepang untuk Indonesia saat itu, Yasuaki Tanizaki, sempat meluapkan kekecewaan dan penyesalan pemerintahnya kepada Indonesia.
Baca juga: Berkah BUMN China: Jadi Pemasok Utama Rel Kereta Cepat Jakarta-Bandung
"Saya telah menyatakan penyesalan saya karena dua alasan," kata Tanizaki memulai pembicaraan di hadapan wartawan yang mengerubunginya di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Pertama, pihak Jepang menyesal lantaran dana yang sudah dikucurkan untuk studi kelayakan high speed rail (HSR) rute Jakarta-Bandung sangat besar. Studi kelayakan HSR dikerjakan selama tiga tahun dan melibatkan pakar teknologi Jepang yang bermitra dengan Indonesia.
Kedua, Tanizaki menuturkan teknologi yang ditawarkan Jepang merupakan teknologi terbaik dan memiliki standar keamanan tinggi.
"Tapi keputusan ini sudah dibuat pemerintah Indonesia dan kami menghormatinya, karena ini bukan keputusan yang mudah. Saya akan langsung menyampaikannya ke Tokyo," pungkas Tanizaki.
Baca juga: Kritik Rachmat Gobel soal Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.