“Tidak terutang” dalam rezim PPN Indonesia berarti tidak kena pajak dan tidak diwajibkan membuat faktur pajak. Dalam hal ini, wajib pajak tidak dapat mengkreditkan pajak masukannya.
Sementara itu, PPN “tidak dipungut” dan “dibebaskan” adalah fasilitas dari pemerintah yang sama-sama tidak mengenakan pajak atas barang atau jasa yang seharusnya terutang PPN. Namun, pengusaha kena pajak (PKP) yang menerima kedua fasilitas tersebut diwajibkan menerbitkan faktur pajak setiap melakukan penyerahan barang atau jasa.
Bedanya, PKP penerima fasilitas “tidak dipungut” PPN dapat mengkreditkan pajak masukan. Sedangkan, PKP penerima fasilitas “dibebaskan” PPN tidak dapat mengkreditkan pajak masukan.
Dengan tidak dapat dikreditkannya pajak masukan maka harga jual produk atau jasa berpotensi naik. Lazimnya, pengusaha cenderung akan melimpahkan beban pajak ini ke konsumen.
Baca juga: Apa Itu PPN: Definisi, Tarif, Pemungut, dan Objek Pajaknya
Dengan demikian, penyesuaian objek PPN dapat berimplikasi ganda. Pertama, PKP dituntut menerbitkan faktur pajak, yang jika tidak patuh atau terlambat menunaikan akan dikenakan sanksi administratif berupa denda 1 persen dari harga jual.
Kedua, beban ekonomi konsumen berpotensi bertambah akibat pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan atas penyerahan barang atau jasa yang “dibebaskan” PPN.
Jadi, wajib pajak harus hati-hati dengan perluasan objek PPN karena ada implikasi serius yang akan menyertai, terutama dengan berubahnya kriteria barang dan jasa yang selama ini "tidak terutang" pajak menjadi barang atau jasa strategis yang "dibebaskan" pajak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.