JAKARTA, KOMPAS.com - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan akan mengatur jenis instrumen Surat Berharga Negara (SBN) untuk repatriasi harta dalam program pengungkapan sukarela (PPS) atau lebih dikenal dengan tax amnesty tahun depan.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan, pihaknya masih mendiskusikan instrumen yang tepat dengan stakeholder terkait.
"Instrumen akan kita atur. Pak Yoga (Direktur Peraturan Perpajakan I Hestu Yoga Saksama) sudah bicara dengan stakeholder, instrumen apa yang paling tepat dan seperti apa," kata Yon dalam Sosialisasi UU HPP, di Denpasar, Bali, Rabu (3/11/2021).
Baca juga: Dana Repatriasi Tax Amnesty Rp 12,6 Triliun Sudah Bebas Tinggalkan Indonesia
Adapun periode repatriasi SBN atas harta yang diungkapkan adalah 5 tahun. Hal ini lebih lama dibanding program tax amnesty tahun 2016 lalu, yakni hanya 3 tahun.
"Karena memang sekali lagi kita selaraskan. Periodenya 5 tahun log periodnya. Zaman tax amnesty log period-nya 3 tahun," beber Yon.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, program pengungkapan sukarela (PPS) yang akan dilaksanakan tahun depan berbeda dengan program tax amnesty tahun 2016.
Perbedaan inilah yang membuat Kementerian Keuangan menyatakan PPS bukan tax amnesty jilid II. Yustinus menuturkan, perbedaan tax amnesty dengan PPS terletak pada kondisi dan besaran tarifnya.
Saat ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah memiliki akses informasi. Dengan demikian, wajib pajak (WP) yang ikut program ini pada tahun depan didasari oleh kepatuhan.
Baca juga: Wajib Pajak Menyesal Repatriasi Harta karena Politik memanas, Ini Kata Sri Mulyani
"Bedanya ada pada kondisi. Ketika tax amnesty (tahun 2016), Dirjen pajak tidak punya akses pada informasi. Maka dulu dilakukan rekonsiliasi, tarifnya rendah supaya mau ikut. Yang ikut siapa? Semua boleh ikut," bebernya.
Berikut ini rincian tarif PPS tahun depan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.