KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Mengatasi Imposter Syndrome

Kompas.com - 06/11/2021, 08:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

ADA dua reaksi yang umum dilakukan seseorang ketika dihadapkan pada suatu tantangan baru. Pertama, beberapa orang bisa penuh semangat, meskipun mungkin sedikit waswas. Kemudian, merespons dengan, “Baik, mari, kita garap. Kita pikirkan caranya.”

Sementara itu, sebagian lainnya menjadi panik dan bereaksi penuh kecemasan, “Bagaimana saya bisa melakukan hal itu? Siapa saya ini yang belum berpengalaman sama sekali? Bagaimana kalau saya mengacaukan semuanya?”

Reaksi yang kedua sering disebut sebagai imposter syndrome. Adapun imposter syndrome merupakan sebuah reaksi seseorang yang berfokus pada ketidakmampuannya dan melupakan kapasitas yang sesungguhnya ia punya ketika menghadapi suatu tantangan ataupun kesulitan.

Feelings of self-doubt and personal incompetence that persist despite your education, experience, and accomplishments,” demikian laman Healthline mendefinisikan sindrom tersebut.

Pada sebuah artikel dalam International Journal of Behavioral Science dikatakan bahwa sekitar 70 persen dari populasi pekerja pernah mengalami gejala imposter syndrome dalam hidupnya. Pada beberapa kondisi, hal ini berdampak positif karena membuat para pemimpin atau profesional disadarkan akan kekurangannya. Dengan demikian, mereka dapat menyusun strategi untuk mengatasinya.

Namun, ketika gejala tersebut menjadi terlalu dominan, bahkan bercokol terus dalam kepribadiannya, hal ini dapat membuat para profesional menjadi tidak produktif.

Pertanyaannya, apakah perasaan ini menetap? Apakah hal ini dapat diperbaiki?

Rasa percaya diri tidak berkorelasi dengan kompetensi

Sering kali kita menemui individu-individu yang memiliki kompetensi luar biasa. Namun, mereka justru selalu mengeluh mengenai ketidakmampuannya. Sebaliknya, arogansi dan overconfidence pun tidak berkorelasi dengan potensi kepemimpinan.

Imposter syndrome biasanya disebabkan oleh perasaan tidak nyaman akibat asumsi tentang pandangan orang ke individu. Hal ini kemudian dicampur dengan rasa resah dan cemas yang ringan sehingga membuat tingkah laku di tempat kerja menjadi tidak sehat.

Gejala imposter syndrome bisa menetap lantaran seseorang profesional memiliki kecenderungan tidak berkawan dengan diri sendiri.

Banyak orang merasa bahwa pekerjaan, karier, dan tugas yang ia kerjakan adalah tanggung jawab semata tanpa pernah menepuk bahunya sendiri akan prestasi-prestasi yang ia lakukan sambil mengatakan "good job" pada diri sendiri. Bila hal ini dibiarkan terus-menerus, akhirnya individu menjadi terbiasa dan get comfortable with being uncomfortable.

Terkadang, kita perlu berpura-pura bisa sebelum benar-benar kompeten. Dalam upaya itu, kita juga perlu meyakinkan pada diri sendiri bahwa kita memang sedang berkembang.

Dalam bukunya, The Big Leap: Conquer Your Hidden Fear and Take Life to the Next Level, Gay Hendricks mengatakan, “We get to keep our limitations if we argue for them, meaning arguing that something isn't possible for us. What if, instead, we argued for what's possible?”

Semuanya tergantung pada diri kita. Apakah dalam diri kita punya keinginan untuk senantiasa melakukan stretching kemampuan agar dapat menembus ketidaktahuan dan mempelajari sesuatu hal baru?

James Dyson mengalami kegagalan sebanyak 5.126 kali sebelum menemukan mesin pengisap debu yang best-selling. Tanpa semangat breakthrough, kita akan jalan di tempat dan jauh dari kesuksesan.

Self-talk” positif

Eileen Rachman.Dok. EXPERD Eileen Rachman.

Sebenarnya, gejala imposter syndrome yang sesekali muncul pada individu merupakan hal wajar. Namun, kita perlu paham, hal ini dilatarbelakangi oleh cara kita membuat cerita tentang diri sendiri.

Misalnya, ketika ide kita tidak disambut baik dan itu membuat kita mundur. Bila hal ini terjadi berulang kali, kepribadian kita pun melemah. Lalu, kita mulai membuat cerita yang kurang menguntungkan buat diri sendiri.

Hal itu bisa terjadi di keluarga, sekolah, ataupun organisasi. Bila cerita tentang diri tidak dibangun secara positif, negativisme akan meliputi mental dan pikiran kita.

Ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan agar kita mendapatkan dukungan dalam mengembangkan cerita positif tentang diri sendiri.

Pertama, kita perlu memiliki jejaring pertemanan di luar pekerjaan dan keluarga. Melalui jejaring ini, kita bisa saja menemukan sosok panutan yang bisa menjadi mentor ataupun melihat diri kita dari sisi yang berbeda dari yang selama ini kita kembangkan.

Kita juga perlu membalik mindset dan menganggap bahwa semua kesulitan adalah kesempatan untuk berkembang. Dengan demikian, kita dapat memperluas wawasan, memahami pendapat dan pandangan orang lain, dan bahkan mempelajari keterampilan baru.

Kita pun perlu menghormati prestasi-prestasi cemerlang yang pernah dibuat. Kita tidak perlu berkoar-koar tentang prestasi kita. Namun, kita harus bersikap fair pada diri sendiri dan mengatakan bahwa capaian itu memang kesuksesan kita.

Terakhir, kita juga perlu berteman dengan kegagalan dan menganggapnya sebagai bagian dari pembelajaran. Kita tidak perlu menyalahkan diri sendiri ketika gagal.

Perbaiki sistem saraf di otak

Sebuah paham terbentuk ketika kita membuat aturan logika tertentu pada sistem dan pola pikir serta mengulang-ulangnya. Bila mau berubah, kita perlu mengganti pola pikir.

Pertama, kita perlu mengganti cara bertanya. Ubah dengan pertanyaan yang mengarah pada rasa ingin tahu. Hindari pertanyaan bernada sinis, menyerang, atau seolah menguji.

Contohnya, daripada sekadar bertanya mengapa atau siapa yang membuat kesalahan, lebih baik bertanya bagaimana menghindari kesalahan tersebut bisa terulang pada masa mendatang. Kita mengatur pikiran agar selalu solution focused dengan bertanya, “Apa yang bisa kulakukan agar tidak mengulang kesalahan tadi?”

Selanjutnya, kita perlu meyakini bahwa banyak kekhawatiran hanya terjadi di pikiran sendiri. Untuk itu, kita perlu mengembalikan pikiran pada hal yang obyektif serta menanyakan fakta-fakta yang mendukungnya.

Kemudian, gunakan lebih banyak kata "dan" daripada "tetapi". Memang keduanya sekadar kata-kata, tetapi kata-kata juga dapat menghipnotis dan memengaruhi pikiran kita.

Keberhasilan, piagam, dan thank you cards bagus untuk meyakini bahwa banyak orang menghargai keberhasilan dan kebaikan kita.

Dengan berlatih, secara perlahan-lahan, gelombang di otak dapat berubah dan membuat kita termotivasi untuk mengembangkan diri menjadi lebih berdaya dan mindful.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com