Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute

Pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), sebuah lembaga pengkajian kemaritiman independen. Acap menulis di media seputar isu pelabuhan, pelayaran, kepelautan, keamanan maritim dan sejenisnya.

Menyoal Kerja Sama INA dan DP World dalam Bisnis Pelabuhan

Kompas.com - 08/11/2021, 05:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BERITANYA lumayan membetot perhatian public kemaritiman nasional. Jelas membetot perhatian. Karena, yang diberitakan adalah ditandatanganinya kerja sama antara Indonesia Investment Authority (INA) dan Dubai Ports World (DP World).

Jarang-jarang bisnis pelabuhan dibicarakan oleh sebuah institusi nasional di luar kementerian terkait, yaitu Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN. Sementara, di sisi lain, mitranya merupakan salah satu operator pelabuhan global yang cukup terkenal.

Hanya saja, kedua entitas ini memiliki sejumlah catatan yang perlu diketahui umum dan catatan ini tidak sepenuhnya menggembirakan.  Sehingga, kerja sama yang sedang ditempa di antara mereka bisa-bisa berujung boncos bagi operator pelabuhan yang akan mereka kembangkan – dalam hal ini PT Pelabuhan Indonesia atau Pelindo – karena kelemahan yang ada di kedua belah pihak yang akan diurai dalam karangan ini.

Dan, bagi bangsa ini, kelemahan itu akan menghambat keinginannya yang lama terpendam untuk menghadirkan layanan pelabuhan yang efisien, efektif dan berbiaya murah kepada pengguna jasa. Cita-cita ini akhirnya akan menjadi ‘jauh panggang dari api’.

 Baca juga: Gaet Perusahaan Dubai, INA Jalin Kemitraan Senilai Rp 106,5 Triliun

Namun, perlu digarisbawahi bahwa tulisan ini tidak hendak mengumbar antipati terhadap modal/investasi asing dalam bisnis pelabuhan domestik karena saya sepenuhnya memahami keterbatasan sumber dana lokal, khususnya APBN, bagi pengembangan pelabuhan.

Tulisan ini mencoba kritis terhadap investasi asing yang dapat saja berakhir buntung bagi bangsa ini. Apalagi dalam bisnis pelabuhan yang merupakan infrastruktur strategis bagi sebuah negara. Cilakanya, sudah ada beberapa contoh negara yang mengundang investor asing masuk ke dalam sektor pelabuhannya dan berakhir menyedihkan.

Catatan seputar INA & DP World

Merespons langkah yang dilakukan oleh Indonesia Investment Authority (INA), media melaporkan bahwa Pelindo tengah melakukan penjajakan dengan lembaga dimaksud terkait pelabuhan-pelabuhan mana saja yang potensial untuk dikembangkan dan diusahakan.

Dari penjajakan ini diharapkan bakal ada pelabuhan kelolaan BUMN ini yang siap dikerjasamakan dengan mitra strategis melalui perantaraan INA. Lembaga ini memang melakukan usaha perantaraan – bahasa kerennya intermediacy atau broking business – antara pemodal dan mereka-mereka yang membutuhkan modal. 

INA merupakan lembaga pengelola sovereign wealth fund-nya Indonesia. Secara teori dana yang ia salurkan merupakan kelebihan pendapatan negara yang khusus disisihkan untuk investasi dalam bidang usaha yang ber-yield tinggi. Tetapi dalam prakteknya INA lebih aktif mencari dana/investasi dari pihak ketiga utamanya dari luar negeri.

Dari sisi permodalan, institusi ini dibekali oleh pemerintah sebesar Rp 15 triliun yang tidak seluruhnya likuid. Sepertinya kondisi perdompetan inilah yang mendorong mereka menjadi agresif mencari dana dari pihak ketiga.

Bisa jadi DP World merupakan klien pertama dan terbesar INA sejak didirikan dengan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta PP Nomor 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi.

Yang menjadi pertanyaan: dalam pengelolaan investasi DP World apakah INA memiliki pengalaman dan expertise dalam bisnis pelabuhan? Sepertinya tidak. Dari deretan eksekutif yang mengurusi lembaga ini saya kesulitan menemukan orang-orang yang tercatat pernah menggeluti bisnis pelabuhan.

Bisa jadi saya salah. Sebagian besar, kalau tidak mau disebut seluruhnya, berlatar belakang finansial atau perbankan. Tentu saja para eksekutif ini bisa menyewa konsultan untuk menutupi handicap yang ada. Dan, karena DP world merupakan investor global yang telah berinvestasi di hampir delapan mata angin konsultan itu tentulah atas penunjukan mereka. Wong duitnya duit mereka kok.

Diberitakan lagi oleh media, dalam upayanya masuk ke dalam bisnis pelabuhan di Indonesia DP World akan memanfaatkan platform bersama yang ditubuhkannya bersama Caisse de depot et placement du Quebec.

Melalui kemitraan ini konglomerasi asal Dubai, Uni Emirat Arab, itu sudah menanamkan modal di 12 terminal di beberapa pelabuhan mancanegara. Dari penelusuran yang penulis lakukan, firma asal Quebec itu merupakan lembaga investasi lembaga pensiun. Sepertinya juga tidak ahli banget dalam urusan pelabuhan. Ini catatan yang pertama.

Baca juga: Pelindo Resmi Merger, Erick Thohir: Pesan Presiden, Ini Juga Diikuti BUMN Lain

Catatan kedua, karena INA merupakan lembaga pengelola investasi tentulah mereka akan mengutip fee untuk setiap investasi yang mereka comblangi. Ini praktik yang lazim sebenarnya dalam bisnis intermediacy.

Penyalur dan penerima investasi sudah sama-sama mafhum perihal fee ini. Hanya saja, bagi penerima, yakni Pelindo, tetap saja berat karena jumlah investasinya tidak penuh akibat dipotong di sana-sini. Mata rantai rente ini pastinya akan dikompensasi dengan biaya pelayanan yang mahal kepada pengguna jasa.

Sementara itu, ada beberapa catatan untuk DP World. Pertama, operator pelabuhan ini sudah pernah masuk ke dalam bisnis Pelindo sebelumnya. Hal ini terjadi pada 2006 ketika perusahaan ini mengakuisisi 49 persen saham P&O Ports di Terminal Petikemas Surabaya  (TPS) yang kala itu masih di bawah pengelolaan Pelindo III. Ikatan bisnis ini berakhir pada 2019 karena kedua belah pihak sepakat untuk tidak memperpanjang kerja sama.

Kabarnya, BUMN pelabuhan itu tidak berniat meneruskan kerja sama karena perusahaan yang dikomandani oleh Sultan Ahmed bin Sulayem tersebut tidak patuh kepada komitmen investasi alat bongkar-muat seperti yang sudah disepakati. Pelindo III merogoh kocek Rp490 miliar untuk buyback saham yang dipegang DP World. Sedikit tentang P&O Ports, perusahaan ini kini dimiliki seratus persen sahamnya oleh DP World.

Catatan berikutnya, DP World adalah salah satu operator pelabuhan global yang sering melepas kembali (divestasi) saham dalam pelabuhan yang dikuasainya dalam waktu yang cukup singkat jika dibanding dengan praktik yang lazim dalam investasi terminal yang rata-rata sekitar 20 tahun.

Ambil contoh, korporasi ini tercatat melepas kepemilikan sahamnya terminal peti kemas Shekou, Shenzen, China, setelah menguasainya kurang dari setahun. Dalam kalimat lain, keterlibatan DP World dalam sebuah terminal/pelabuhan lebih sebagai upaya untuk membangun portofolio; terminal/pelabuhan dikuasai, terus didandani selanjutnya dijual kembali. Lagi, praktik ini sah-sah saja.

Bayangkan keadaan ini. Melalui perantaraan INA, DP World akhirnya menguasai atau menginvestasikan duitnya di salah satu pelabuhan Pelindo. Pelabuhan ini dikelola sekian lama lalu dilepas di tengah jalan karena alasan bisnis yang tidak menguntungkan atau apalah. Rasanya gimana gitu....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com